Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suatu hari aku pernah berpikiran seperti ini...

"Apakah menikah harus punya alasan? Apakah harus melibatkan perasaan cinta romantis kepada calon pasangan kita sebagai alasan untuk menentukan keputusan menikah?"

Pikiran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada seorang sahabat yang beberapa waktu lalu bertanya padaku mengenai hal itu, dan ada buku yang kubaca menuliskan hal selaras. Jadi aku berpikir sejenak, apakah harus melibatkan cinta sebelum memutuskan menikah? Padahal sejak dulu, prinsipku adalah mencintai suamiku, siapa pun itu, kalau belum sah sebagai suamiku, takkan kuberikan cinta tulus ini. "Sekadar suka" mungkin bisa, tapi hingga level "cinta" memang kusimpan dan akan kupersembahkan untuk suamiku kelak.

kaget nggak tuh, sore-sore dapet pertanyaan filosofis :)

Jadi saat ditanya oleh sahabatku perihal itu, jawabanku adalah "mungkin 50% (?)". Ya karena nggak pernah ada risetnya juga ya, tapi menurutku tidak semua orang menikah atas dasar cinta. 

Semakin dewasa aku jadi sadar kalau "cinta" nggak bisa dijadiin alasan buat menikah. Lebih ke "bisa nggak hidup sama orang ini selamanya?" 

Jika pertanyaan diganti jadi, "Apakah harus melibatkan cinta sebelum memutuskan menikah?", jawabanku adalah "tidak". Banyak juga pernikahan tanpa landasan cinta yang berjalan baik-baik saja. Karena sakinah, tak melulu berasal dari jatuh cinta. 

Namun jika ditanya, "Apakah menikah harus punya alasan?", jawabanku adalah "Ya harus!". Memutuskan untuk menikah (terutama bagi seorang wanita) adalah keputusan besar dalam hidup. Selayaknya proses pengambilan keputusan lainnya (seperti pendidikan, karier, dll), keputusan menikah harus ada datanya, ada pertimbangannya, ada alasannya. Karena menikah tak hanya melibatkan aku dan kamu; tetapi juga keluarga besarku dan keluarga besarmu, anak-cucu keturunanku kelak, hidupku, dan bahkan akhiratku. Ya kali milihnya "hanya" atas dasar cinta?

sumber: instagram @berdikaribook
(cek di sini)

Ada postingan instagram yang merangkum pemikiran filsuf Erich Fromm tentang cinta, and I totally agree with that. Bahwa "mencintai bukan sekadar merasakan sesuatu - ia adalah upaya aktif untuk memahami, menerima, dan membersamai tanpa mengikat". Perasaan bisa hilang-timbul, datang-pergi, naik-turun, karena ia dinamis. Tapi upaya aktif dapat membantu kita untuk terus menerus, jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama.

Pak Fahruddin Faiz pernah berkata, "yang terpenting bukan seberapa besar cintanya, tapi apakah ia merasa dirinya dicintai?". Karena cinta dan mengekspresikan cinta adalah dua hal yang berbeda. Upaya aktif tentu akan membuat kita berpikir bagaimana cara mengekspresikan cinta dengan baik sehingga pasangan MERASA dirinya dicintai.

"Fondasi dari mencintai dengan hebat adalah berpikir dengan tajam." - Cania Citta

Niat yang baik untuk mencintai saja tidak cukup, kita HARUS berpikir dengan tajam sehingga dapat menemukan keputusan dan pilihan yang tepat. Karena apapun keputusan kita menentukan tindakan kita, dan tindakan kita mempengaruhi pasangan kita.

Jadi, kesimpulannya apa teman-teman?

Membuat keputusan menikah tidak harus berdasarkan cinta. Tapi harus menggunakan hasil kolaborasi antara otak dan hati. Karena otak untuk berpikir bagaimana caranya mencintai dengan benar, dan hati menuntun kita untuk mencintai dengan baik. Ntar cintanya jadi baik dan benar... wkwkwkwkw.

Comments

Popular posts from this blog

Suami idaman

Bapak