Refleksi 2019

Sebagai orang yang 'sok sibuk' aku sampe nggak sempat buat nulis blog lagi. Padahal berbagai rencana dan ide udah ada, tapi semua itu berakhir sebagai wacana semata. Tiba-tiba aja hari ini aku lagi suntuk sama salah satu project liburan, pengen berhenti sejenak dan nulis di blog ini. Mungkin karena aku baru sadar kalau salah satu temen deketku juga punya blog (jadi pengen ikutan aktif lagi di blog, wkwk) dan baru beberapa hari yang lalu aku nyelesaiin baca buku judulnya "The Power In You" yang penulisnya jugalah seorang blogger. 

Menulis. Sebenernya setahun ini aku nggak sepenuhnya berhenti nulis. Well, aku punya bullet journal yang merangkap sebagai diary. Beberapa pengalaman, kekesalan, dan apapun itu kutulis di sana. Menurutku menulis itu merupakan peluapan emosi yang bener. Saat kamu kesal dan suntuk sama sesuatu, but there's no one yang bisa kamu ajak berbicara, menulis salah satu hal yang bisa bikin kamu lebih tenang. Coba deh, soalnya aku juga gitu dan berhasil. Meskipun nggak ada solusi kontkret, tapi dengan menulis, emosimu tersalurkan dengan baik. Paling enggak, nggak ada orang lain yang kena dampak negatif pas kamu lagi emosi. 

Ngomong-ngomong tentang emosi, setahun ini merupakan ajang buat aku sendiri khususnya dalam belajar mengendalikan emosi. Cukup banyak drama yang terjadi dan bikin aku belajar buat jadi orang lebih baik lagi. Mungkin cerita itu bisa kuceritain di lain waktu -semoga :). Balik di judulnya yaitu tentang refleksi setahun ini. Ada beberapa hal yang buat aku belajar menjadi dewasa. 'duh jadi ngerasa tua :(' 

Pertama, perfeksionis. Apapun yang dilakukan berlebihan itu tidak baik. Aku sadar itu, tapi buat memperbaiki hal yang udah jadi karakter emang susah. Jujur, aku termasuk orang yang perfeksionis, juga kata orang-orang di sekitarku. Kalau aku punya keinginan/tujuan/target/sesuatu apapun itu harus dilakukan maksimal, harus bagus, harus sempurna kalau bisa. Tapi dengan kayak gitu justru banyak hal yang malah sama sekali nggak aku lakuin. Karena aku mengharapkan semua hal berjalan sempurna, aku jadi sering menunda-nunda atau mengulur waktu sampe sesuatu itu jadi sempurna. Belum bisa dibilang selesai kalau masih ada beberapa hal yang nggak sesuai keinginan. Dengan perfeksionis berlebihan juga bikin aku nggak percaya sama pekerjaan orang lain, padahal mereka mampu. Saat bekerja dalam team lebih seringnya aku yang ngoreksi paling akhir pekerjaan itu sampe menurutku 'sempurna' baru deh dikumpulin. Hal buruk juga dari perfeksionis berlebihan itu, jadi ada tekanan batin dan pergolakan hati dari diri sendiri kalau mencapai suatu hasil yang kurang sempurna. Itu nggak baik dan tambah menyiksa diri. Padahal kesempurnaan itu hanya milik-Nya. 

Kedua, sabar. Kata itu emang mudah banget diucapkan, tapi susaah banget buat dijalani. Sabar bisa dalam berbagai bentuk, sabar dalam ketaatan, sabar dalam menghindari maksiat, sabar saat mendapat musibah, dan lain-lain. Salah satu bentuk kesabaran yaitu saat menunggu seseorang. Belajar buat tetep sabar dikala waktumu dikorbankan untuk menunggu itu susah. Memangnya aku nggak punya kerjaan lain apa? Memangnya kerjaanku cuma nunggu? Nah, sekarang nih kalau masalah tunggu-menunggu aku udah punya solusi. Membaca. Always bring a book wherever you go. Dengan membaca, waktu menunggumu nggak akan sia-sia, justru banyak ilmu yang kamu dapet dikala kamu menunggu. Buku apapun itu, kalau dibaca pasti ada value yang dapat diambil, ya kan? 
Ada quotes tentang kesabaran yang aku dapet dari seorang temen organisasi. "Sabar itu memang sulit, tapi menyia-nyiakan pahala dari sebuah kesabaran itu lebih buruk" -Abu Bakar As-Sidiq-

Ketiga, pengendalian emosi. Emosi (dalam konteks negatif) bisa muncul kapanpun kalau ada sesuatu yang nggak mengenakkan terjadi, itu wajar, sangat wajar malah. Tapi bagaimana kita mengendalikan emosi yang ada dalam diri, itu yang luar biasa. Kalau aku tipe orang yang susah atau bahkan nggak bisa menahan dan memendam emosi. Kalau aku udah emosi, seminimalnya yang bakal aku lakuin adalah menulis, kayak yang kubilang di awal tadi kalau menulis tuh salah satu wujud peluapan emosi. Karena aku orang yang merhatiin perasaan orang lain sebelum ngomong sesuatu, aku masih belajar buat mengungkapkan emosi ke orang-orang yang menyebabkan emosi itu muncul. Sebenernya yaa, cara terbaik buat mengungkapkan emosi tuh dengan kamu berkomunikasi sama orangnya secara langsung, berdiskusi apa yang membuatmu emosi, dan mendengar dari sudut pandangnya mengapa dia melakukan sesuatu yang membuatmu emosi. Dengan begitu kamu jadi berpikir lagi, apa aku layak buat emosi karena hal ini? Dan buat kalian yang masih suka memendam emosi, mungkin bisa belajar buat sedikit-sedikit mengeluarkan emosi itu. 
Emotion is like eruption. 'Kalau sedikit-sedikit dikeluarkan, tak akan membahayakan sekitar. Tapi, kalau dipendam terlalu lama, akan meledak dan sangat berbahaya buat orang lain.'

Keempat, maaf. "Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan, tapi hanya yang pemberani yang mau mengakui. Setiap manusia di dunia pasti pernah sakit hati, hanya yang berjiwa ksatria yang mau memaafkan." Itu cuplikan lirik dari salah satu lagu di Petualangan Sherina yang sampe sekarang tuh masih ngena buat aku. Tiap orang pasti punya salah, tapi buat jadi orang yang memulai buat minta maaf itu susah banget. Harus melepaskan ego dan memberanikan diri buat mengakui kesalahan dan minta maaf ke orang lain. Selain itu, memaafkan orang yang pernah nyakitin kita juga nggak mudah. Tapi dengan saling memaafkan, hidup kita pasti lebih tenang. Pasti.

Kelima, open minded. Berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, berbeda daerah, berbeda budaya, beda suku, beda agama, dan yang pasti beda sudut pandang memaksaku buat memahami mereka semua. Nggak semua orang memiliki pandangan yang sama kayak aku. Beberapa hal yang aku anggap baik, belum tentu menurut mereka baik, begitupun sebaliknya. Dengan memahami perbedaan yang ada, aku jadi lebih belajar buat menghargai orang lain, lebih open minded atas segala hal yang terjadi, nggak langsung judge orang lain saat mereka melakukan hal yang menurutku 'tidak baik', dan lebih bersyukur dengan apapun yang diberi-Nya buatku. 

Hai Aku,
Terima kasih sudah berjuang dan mau belajar...


Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suami idaman

Bapak