Ego is The Enemy - Ryan Holiday
Pertama kali tau ada buku ini dari kak @sophiamega, yang katanya recommended banget dan minimal dibaca 1x seumur hidup. Bahkan sampe dibikin playlist-nya di YouTube Sophia Mega : link playlist youtube. Lalu saat liat kalau tersedia di Perpustakaan FT UGM, langsunglah tanpa pikir panjang akhirnya kupinjem bukunya. Sebenernya pengen semua buku yang kubaca bisa di-review di blog dengan lebih panjang (nggak cuma 1-3 kalimat aja kayak di instagram), tapi apa daya nggak sempat... hehe. Nah, kenapa buku ini tetep akan ku-share ke blog? Pertama, karena aku nggak punya buku ini, yups tentu saja, kan aku pinjem perpus. Jadi, kapan-kapan kalau misal butuh refresh ingatan tentang topik buku ini tinggal baca blog saja. Kedua, ada beberapa feedback pas aku upload story buku ini, so I think it's better to write and share the insight in blog.
Penyampaian penulisnya (dan penerjemahnya) cukup enak dibaca, mengalir, dan mudah dipahami. Kukira buku ini akan banyak teori-teori yang njlimet (alias rumit), ternyata lebih banyak tentang kisah-kisah orang (ya selayaknya buku self improvement lainnya). Ada beberapa insight yang bagus, jadi beberapa kukasih sticky notes (tentunya setelah kubaca kulepas lagi sticky notes-nya cause it isn't mine 😁)
Overall, setelah membaca keseluruhan isi buku ini, intinya adalah RENDAH HATI.
Beberapa poin menarik yang bisa jadi bahan pemikiran kita akan kujelaskan di bawah ini.
Diam adalah kekuatan
Seringkali, kita cenderung banyak bicara dalam berbagai hal. Ntah itu menceritakan diri kita, mengutarakan pandangan kita, mengomentari sesuatu, ghibah, dan apapun itu lah. Dengan berbicara banyak, mungkin kita berpikir hal itu akan membuat kita tidak diabaikan. Ternyata, ego lah yang mendorongnya seperti itu, dan semua orang punya ego. Setelah aku baca bagian ini, jadi mikir. Hmm, bener juga ya pepatah yang sering banget kita denger dulu, "Diam adalah emas". Iya, diam di sini juga berlaku saat sesuatu hal yang nggak kita inginkan terjadi misalnya saat di-bully atau diejek atau diremehkan. Diam di sini bukan berarti diam selamanya ya, tapi membatasi berbicara. Berpikir dulu, apakah keinginan kita untuk bicara itu didasari ego kita atau memang penting untuk berbicara atas hal itu? Keinget juga sama Podcast Endgame-nya Pak Gita Wirjawan yang tamunya Prof. Quraish Shihab. Beliau menyampaikan nasihat berikut:
"Jangan berbicara menyangkut apa yang engkau tidak ketahui.Jangan semua yang engkau ketahui kamu bicarakan."
Diam adalah waktu jeda dari orang yang percaya diri dan orang yang kuat.
Daya sainglah yang ada di balik pencapaian terhebat manusia
Ngomongin tentang daya saing, aku jadi langsung teringat sama diriku sendiri. Sejak masa sekolah, dari TK bahkan sampe sekarang, aku selalu kayak punya patokan orang yang bakal jadi rival (pesaing). Jadi selama sekolah sampe lulus, dia akan jadi benchmark-ku terkait nilai akademis maupun prestasi. Sebenernya orangtua (alhamdulillah) nggak pernah membanding-bandingkanku sama temen-temen atau sama saudara kandung, tapi banyak tetangga atau keluarga besar dan orang-orang lain itu menganggap kalau nilainya bagus itu pinter. Sebagai anak kecil yang suka diapresiasi dan dipuji, hal itu bikin candu dan membuatku harus punya pesaing untuk merasa puas. Kalau berhasil nilainya lebih dari si X misal, waah happy-nya bukan main meskipun selisihnya cuma 0,1... wkwkwk.
Meskipun daya saing dan "Ingin menjadi lebih" itu bagian dari ego, selama hal itu berdampak positif bagi kita dan nggak merugikan orang lain, it's okay. Ngomongin daya saing lagi, ntah kenapa "perang dunia" yang tiba-tiba terlintas di pikiranku. Inti dari perang itu kan daya saing yaa.. dan mereka berlomba-lomba untuk menang. Dengan adanya persaingan tersebut, akhirnya banyak tercipta karya-karya atau teknologi hebat yang bahkan sampai sekarang masih kita pakai dan mungkin beberapa dari kalian nggak sadar kalau itu teknologi yang dihasilkan dari sebuah "perang". Contohnya teknologi satelit dan pesawat tanpa awal (alias UAV atau drone) yang dulunya dipakai untuk mengintai musuh, mendeteksi objek dari jarak jauh, dan menganalisis strategi yang akan digunakan selanjutnya. Teknologi tersebut lama-lama berkembang dan bahkan ada jurusan kuliahnya. Yups, Penginderaan Jauh atau Remote Sensing. Jadi bener sih apa yang dibilang di buku ini bahwa,
"Daya sainglah yang ada di balik pencapaian terhebat manusia."
Keserakahan
Katanya Ego adalah musuh, lah kok malah positif dampaknya??? Nah, itu menurutku. Jadi kalau ego kita kelola dengan baik bisa jadi positif, mirip-miriplah sama "emosi". Dampak negatifnya ego ini kalau sampe berlebihan. Selalu "ingin lebih baik dari" dan "memiliki lebih banyak dari" semua orang di mana pun. Hal itulah yang jadi sumber keserakahan manusia.
serakah/se·ra·kah/ a selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; loba; tamak; rakus: meskipun sudah kaya, ia masih -- juga hendak mengangkangi harta saudaranya;
Ego yang selalu menginginkan "lebih" membuat manusia serakah emang jelas-jelas udah sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Udah susah lagi dihitung berapa banyak orang yang KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) karena ingin dirinya menjadi lebih atau "dianggap" lebih. Ntah lebih kaya hartanya, lebih tinggi posisinya, lebih besar kekuasaannya, dan "lebih" "lebih" lainnya. Tertulis dengan jelas di buku ini tentang keserakahan yang menyebabkan kita malah tidak produktif.
Mari kita perjelas satu hal: kita tidak pernah pantas mendapatkan hak untuk menjadi serakah atau mengejar keinginan kita dengan mengorbankan orang lain. Pemikiran seperti itu tidak hanya egois tetapi juga tidak produktif.
Saking setujunya sama pendapat penulis ini, sampe aku kasih tanda sticky notes. |
Ketidaksabaran dalam menunggu juga termasuk ego
Kayaknya dari dulu, seringkali aku denger banyak orang yang pengen sukses secara instan. Pengen kaya cepet, naik jabatan dalam waktu singkat, dan mendapatkan segala keinginan secepatnya (istilah Jawa-nya itu "sak deg, sak nyet"). Padahal kalau dipikir-pikir lagi, setelah kita mencapai puncak, lalu apa? Makanya, banyak pengalaman orang yang kulihat setelah dia "buru-buru" mencapai puncak, berakhir dengan tidak bahagia. Kesabaran bukan berarti leha-leha dan malas-malasan, tapi buru-buru juga membuat kita "tidak sadar" dan "tidak mindfull" atas apa yang sedang kita lakukan.
Tentang kegagalan
"Hidup merusak rencana kita dan mengempaskannya menjadi serpihan. Terkadang sekali, terkadang berkali-kali."
Kalimat di atas yang tertulis di buku ini bener-bener menohokku. Makjleb. Seringkali hal-hal yang kita rencanakan nggak sesuai sama realitanya. Tapi ya memang benar begitu adanya, karena kita bukan Tuhan yang bisa mengatur segala kehidupan di dunia ini. Kita bisa gagal. Saat kita berhasil, belum tentu selamanya akan berhasil. Saat kita jatuh, bisa jadi selanjutnya lebih jatuh lagi.
"Keterbalikan dan kemunduran juga merupakan bagian dari siklus kehidupan seperti yang lainnya. Akan tetapi, kita juga dapat mengendalikan hal itu."
Seperti yang dikatakan Goethe, kegagalan yang besar adalah "melihat diri Anda lebih dari diri Anda sebenarnya dan menilai diri Anda lebih rendah dari nilai yang sebenarnya."
Kasih: respons terbaik untuk hal yang terburuk
Ego kita sering memicu untuk melawan siapapun yang meremehkan kita, yang mengejek kita, yang menjelekkan kita, yang menyerang kita, dan yang membuat kita tidak nyaman. Tentunya, sebagai manusia yang punya ego, kita sering terpicu dengan hal-hal yang tidak diinginkan itu. Bukannya merasa lebih baik dan masalah selesai, biasanya malah muncul masalah baru lagi. Makanya, ego is the enemy, kalau kita nggak bisa kendalikan akan bahaya. Penulis mengungkapkan bahwa respon terbaik untuk hal-hal kayak gitu adalah kasih (cinta kasih). Dengan begitu hidup kita bisa lebih tenang dan produktif, terhindar juga dari masalah baru yang timbul dari tindakan ego kita yang "terpicu".
Comments
Post a Comment