Morning Talk with Bapak

Beberapa hari ini, karena habis flu (jadinya kurang enak badan) dan cuaca yang sering hujan, aku dianter-jemput Bapak. Takutnya kalau motoran sendiri oleng karena masih kurang fit. Jadinya, tiap pagi aku harus mandi lebih awal, siap-siap lebih awal biar bisa berangkat bareng Bapak-Ibu. Dan setiap perjalanan berdua bareng Bapak (karena Ibu turun duluan, kantornya deket) selalu ada obrolan yang random alias macam-macam, berbagai topik. Para pembaca blog-ku mungkin udah tau ya, kalau aku sama Bapak itu bisa ngobrolin apa pun. Mulai dari pendidikan, agama, sosial, ekonomi, politik, sampai filsafat.

Pagi ini, obrolannya ringan tapi serius. Jadi, aku pengen mencatatnya sebagai pengingat juga. 

Berawal dari obrolan tentang Ibu yang mau pensiun. Bapak bilang kalau, "Bapak nggak akan pensiun. Pensiun pun Bapak tetep kerja. Cuma kerjanya sudah nggak di kantor." Intinya, beliau bilang bahwa seumur hidupnya akan terus bekerja, berkarya, dan melakukan berbagai hal produktif, apapun itu. Beliau menjelaskan kalau itu sudah tertulis di Al-Qur'an. Kita nggak boleh istirahat (dalam arti bermalas-malasan). Istirahat ada waktunya. Tapi setelah selesai melakukan pekerjaan yang satu, lanjutlah melakukan pekerjaan lainnya. Setelah kuingat-ingat, itu ada di Q.S. Al-Insyirah ayat 7:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,"

Bapak juga bilang kalau beliau sering pulang sore bahkan malem ketika temen-temen kantornya pulang gasik saat jam kosong. Di kantor, saat luang, beliau selalu melakukan pekerjaan, ntah belajar ilmu baru, nukang, beberes, atau ngerjain tugas pokok lain sesuai profesi beliau. Lalu kurespon lah dengan kalimat begini, "Tapi lain halnya sama Ibu-ibu yang nggak punya waktu seluang itu untuk terus di kantor sampai sore/malem, masih ada urusan rumah tangga lain yang harus diberesin kan Pak." Bapak tidak mengelak itu dan menjelaskan bahwa memang laki-laki dan perempuan tidak sama, tapi mindset untuk "setelah selesai mengerjakan sesuatu, lanjut mengerjakan hal lain" itu tetap sama. Mungkin pekerjaan selanjutnya bukan belajar lagi di kantor, tapi pulang ke rumah buat masak dan yang lainnya. Kalau semua pekerjaan dianggap sebagai ibadah, maka jelas nggak akan ada orang yang senang pensiun. Bukan kah ibadah itu sampai akhir hayat? 

Setelah itu, lanjutlah ke bahasan tentang karier bagi laki-laki dan perempuan. 

"Mbak, wanita itu kalau bekerja, nggak boleh diniatkan untuk mencari nafkah (kecuali dia hidup sendiri, untuk menghidupi dirinya sendiri). Niatkan untuk berbagi ilmu aja. Kewajiban mencari nafkah tetep di suaminya. Sebesar apa pun gaji wanita, nggak akan berkah dan akan selalu habis kalau diniatkan untuk menafkahi keluarga, karena bukan itu fitrahnya. Tapi, sesedikit apa pun gaji laki-laki, akan berkah dan cukup untuk menafkahi keluarganya, karena itulah ketentuan dari Allah. Allah yang perintahkan, Allah yang cukupkan."

Hmm... begitulah. Jadi intinya, kita sebagai perempuan nggak boleh sombong kalau punya penghasilan lebih besar dari suami. Lalu ingin mengambil alih peran sebagai pencari nafkah di keluarga. Itu keliru dan malah nggak berkah. Kecuali untuk perempuan yang hidup sendiri atau para ibu single parent. Menurutku, perempuan bekerja pada zaman sekarang ini perlu banget sih. Bukan apa-apa, kita nggak tahu masa depan, jadi setidaknya, penghasilan kita bisa digunakan sebagai dana darurat. Bukan nafkah utama keluarga, tapi dana darurat yang bisa digunakan saat darurat. 

Segitu aja obrolannya karena kantorku sudah dekat. Bye!

Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suami idaman

Bapak