Jeda dan Spasi
Pagi ini aku terkejut sekali, melihat sosok yang dulunya jadi idolaku (tapi kini tidak, bahkan sudah ku-unfollow instagramnya sejak dua tahun lalu) membuat postingan tentang perceraiannya (muncul di suggestion berandaku). Dulu aku mengaguminya karena sama-sama hobi baca buku. Kulihat review bukunya di YouTube hampir tiap hari (sekitar tahun 2017-tujuh tahun lalu), kemudian beralih ke instagram untuk melihat postingannya (yang juga tentang buku). Sejak follow sosial medianya, aku mengikuti perjalanan hidupnya sejak masih gadis, menikah muda, punya anak, dan hidup berkeluarga. Mbak ini memang bukan orang yang kukenal secara personal, tapi aku suka caranya bercerita dan menulis di media. Meski seringnya terlalu vulgar dan blak-blakan. Itu jugalah yang akhirnya membuatku unfollow. Sebenarnya sih okay saja dan aku merasa dirinya keren karena berani menyuarakan apa pun dengan jujur dan apa adanya. Tapi lama kelamaan, sepertinya dia tidak punya filter (setidaknya menurutku), maka kuputuskan untuk unfollow.
Selain membuatku mendapatkan berbagai insight baru, yang bahkan mind-blowing. Mbak ini memicuku overthinking setelah baca kontennya (mungkin itu terjadi setelah dia menikah). Karena sebelumnya, postingan-postingan tentang review bukunya baik-baik saja dan bagus banget malah. Makin lama, isi kontennya bukan hanya soal buku. Tapi juga curhatannya sebagai istri dan ibu. Ya, aku jadi banyak belajar sebagai perempuan, tapi tak dipungkiri, pikirannya yang liar membuatku ikut overthinking banyak hal. Keputusanku untuk unfollow dia dua tahun lalu, menurutku keputusan yang tepat. Setidaknya dia tidak memicuku overthinking lagi, meski aku masih tetap overthinking untuk hal-hal lainnya.
Aku mengikuti perjalanannya menjadi seorang istri dan ibu, dan kini menjadi janda. Feeling-ku saat itu benar... Dia terlalu banyak menulis curhatan yang mengarah ke "penyesalan" "kelelahan" dan "depresi", sedangkan menurutnya suami tidak mendukung apa yang ia lakukan. Hidup berkeluarga tapi split bill? Kesedihan emosional tidak diakomodir. Tantrum yang tidak ditenangkan. Argumen yang ingin selalu berpatokan menang-kalah. Permintaan tolong yang diabaikan. Intinya dia merasa sendirian padahal di rumah ada suami dan anaknya. Bahkan saat di keluarga mertua dan dia beberapa kali disalahkan, suami tidak membelanya. Sampai-sampai ia berpikiran, "kok kebutuhan orang lain terus yang aku penuhi, lalu kebutuhanku siapa yang penuhi?"
Ya Allah Mbak, semoga kamu selalu dikuatkan oleh-Nya.
Ternyata benar kata Mbak-Mbakku yang sudah berkeluarga: "Selama suami mendukungmu, mau dunia menghakimimu, hidupmu tetap tenang." tapi sebaliknya "Meskipun semesta berpihak padamu, tapi suamimu tidak mendukung dan meridhoimu, hidupmu nggak akan baik-baik saja."
Jadi kesimpulannya apa?
Kembali lagi ke KEPUTUSAN MEMILIH PASANGAN SEHIDUP SESURGA.
_________________
Catatan untuk diri
Wen, saat kamu menemukan seseorang yang akan dipertimbangkan untuk menjadi jodoh masa depanmu. Lakukan pengecekan terhadap hal ini:
- Apakah ia tenang saat kamu membuat huru-hara?
- Amati bagaimana responnya saat kamu sedang tidak baik-baik saja!
- Apakah ia memberimu jeda dan spasi saat kamu memintanya?
- Amati seberapa sabar ia menghadapimu saat tantrum mendera tanpa diduga!
Jeda dan Spasi
Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Comments
Post a Comment