Obrolan Menjelang Pulang

Ternyata benar, perempuan punya energi begitu besar untuk berkata-kata, berbicara. Berdasarkan hasil riset dan terutama yang sering disampaikan dr. Aisah Dahlan (one of my online mentor), perempuan rata-rata bisa mengeluarkan 16.000 kata per hari... dan belum bisa tidur nyenyak kalau nggak mencapai target. Pantesan, kadang aku suka ngomong sendiri di samping adekku padahal dia udah beranjak tidur, hahahaaa. Trus waktu ngekos sendiri, sering banget video call sama keluarga sampe berjam-jam, ternyata aku butuh mencapai target kata-kata, wkwkwk. 

Dulu aku nggak sadar kalau aku banyak bicara. Karena merasa introvert dan memang sering kehabisan energi kalau kelamaan di keramaian. Tapi ternyata, meski introvert, kebutuhan buat bicara itu tetep ada. Jadilah sering ngobrol sama keluarga dan sahabat dekat. Sekarang aku sadar, sesadar-sadarnya, ternyata perempuan sebetah itu buat ngobrol. Setelah mengalaminya sendiri jadi tempat cerita rekan kerja menjelang pulang kantor. Mulanya aku menanggapi beliau dengan nyaman, seperti biasa. "Paling mentok 10 menit sih ini beliau kelar ceritanya, soalnya udah lewat jam pulang", batinku. Kenyataannya... hampir setengah jam beliau cerita, sampai-sampai kepalaku pegel karena posisi duduknya nggak nyaman. Huaaaa, bener-bener sepegel itu... Beliau berdiri, aku duduk, jadilah aku mendongak lama. Saat kutawarkan beliau untuk duduk di sampingku, "nggak papa santai Dek" jawabnya. Tapi Bu... saya yang pegel mendongak ke atas... hahaha. 

Meskipun aku capek, tetap berusaha meladeni obrolan beliau. Karena ternyata, ada beberapa hal yang bisa kuambil hikmahnya. Berikut beberapa hikmah itu:


Mulailah Buka Hati

Pada awal obrolan, beliau menanyakan target karierku. Setelah itu berakhir pada menasihati soal jodoh. "Kann, bisa ditebak!", batinku. Kenapaa sih Bu harus ngobrolin jodoh... tapi yaudah lah, yang penting kalimatnya tidak menyinggung, aku okay saja. Beliau tanya usiaku, lalu menasihatiku untuk mulai membuka hati (hahahaa). Beliau bilang, kalau karier-nya terlalu tinggi nanti pada minder yang mau deketin. 

"kalau karier-nya terlalu tinggi nanti pada minder yang mau deketin"

Kalimat di atas tak hanya disampaikan rekan kerja, tapi juga temen kuliah, keluarga besar, dosen, bahkan Ibuku sendiri -_-. Baik laki-laki maupun perempuan, beberapa kali menasihatiku dengan kalimat yang selaras itu. Sebel? Iyalah. Jadi keinget momen yang aku bener-bener nggak bisa lupa. Kejadian saat KKL di Bali, temen kuliah sarjana (laki-laki) tanpa basa-basi bilang, "Kamu nggak takut nanti kalau lanjut studi malah nggak ada yang deketin, Ning?". Posisinya dia ngomong gitu di depan beberapa temenku yang lain juga. Karena sewot, langsung lah kujawab, "Nggak! Soalnya jodohku bukan laki-laki insecure! Aku enak lah, nggak usah ribet-ribet seleksi cowok minder & insecure karena mereka sadar diri!" Setelah itu ia diam... hahahaa, menang kan argumenku 😎

bayangin... di grup online pun juga dibahas perkara jodoh :(
#ini kalau aku dah berani cerita di blog berarti udah okay yaa, udah nggak kesel lagi :)
##obrolannovember2024


Tentang Kehidupan Kantor

Punya atasan dan rekan kerja yang supportif itu suatu keberkahan. Karena hal itu mempengaruhi mental kita dan performa kita juga saat bekerja. Beliau cerita kalau pernah punya atasan yang "nggak fair", punya teman kerja yang "nggak mau kerja", bahkan pernah difitnah terkait hal yang nggak beliau kerjakan. Tapi ya kembali lagi, berdoa ke Allah dan minta petunjuk ke Allah. Akhirnya dipindah ke divisi yang lebih nyaman, kerjaan nggak begitu menuntut energi, dan yang terpenting hasil kerja dihargai. 


Jangan Korbankan Keluarga untuk Ambisi Pribadi

Beliau cerita, awal-awal meniti karier punya semangat kerja yang begitu tinggi. Rajin, ulet, telaten, sampai mungkin lebih mengarah ke "ambisi". Pulang larut malam sampai dimarahi atasan juga pernah (saat itu posisi beliau lagi hamil soalnya), saking semangatnya kerja. Kayak... terlalu asik kalau udah pegang programming katanya (fyi, beliau alumni IT dan kerjaannya ya seputar itu). Sampai suatu hari, karena kelelahan, bayi beliau harus lahir di usia 6 bulan (jauh dari kata normal). Dan sebulan kemudian, beliau kehilangan anak keduanya itu. Dari pengalaman pribadinya itu, beliau menasihatiku seperti ini.

"Dek, perempuan itu yang dipertanggungjawabkan sama Allah bukan kamu jadi apa (dalam hal karier), tapi peranmu sebagai istri dan ibu." 

Makjleb. Ini lhoo, aku dinasihati langsung sama wanita karier. Seorang istri dan ibu yang berkarier dengan jam kerja full dari pagi sampai sore, tapi tetep berusaha masak tiap hari, mengurus keluarga dan kebutuhan rumah. 


Jaga Lisan tuk Jaga Hati

Kalimat tak mengenakkan yang disampaikan orang lain saat kondisi masih down secara fisik dan mental, ternyata membekas hingga bertahun-tahun. Jadi trauma berkepanjangan dan nggak pernah dilupakan sepanjang hidup. Beliau cerita, saat masih sedih kehilangan anak, ada seorang yang bilang, "Ih... bayinya kecil banget" (ini yang ngomong sesama ibu). Sakit hatinya langsung menjadi-jadi. Ya gimana nggak kecil, bayi tersebut kan memang lahir belum sesuai umur (prematur). Sebagai Ibu, beliau merasa sangat-sangat bersalah. Sampai sekarang pun masih menyalahkan diri sendiri karena terlalu sibuk kerja saat hamil sampai-sampai kehilangan anak. 

Aku yang "cuma" denger ceritanya, yang nggak melihat kejadiannya seperti apa, rasanya bisa ikut sedih juga... hiks. Ya, memang Ibu yang bertanggung jawab saat mengandung anaknya selama masa kehamilan. Tapi, saat mereka berduka, nggak bisakah kasih sedikit empati? Siapa sih sosok Ibu yang rela kehilangan bayi yang dinanti-nanti? 

Dari kisah itu, aku jadi belajar bahwa apa yang kita ucapkan, meski itu fakta (dan sepertinya sepele saja), bisa berdampak nggak mengenakkan ke orang lain. Huaaa... aku jadi merasa tertohok. Sepertinya selama ini belum benar-benar menjaga lisan dengan baik. Jangan-jangan, ada orang yang tersinggung sama ucapanku tapi aku nggak sadar yaa... hmm. Jangan-jangan, ada orang yang sakit hati karena lisanku tapi aku nggak pernah minta maaf :( 

Haii, siapa pun kamu. Seandainya pernah ada ucapan dari lisanku yang menyakiti hatimu, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya yaa. Semoga kebaikanmu memberikan maaf ke aku bisa jadi jalanmu menuju surga-Nya... aamiin aamiin.  


Perempuan dan lisannya

Selama ini, memang sering sekali nasihat menjaga lisan disampaikan ke aku pribadi. Dari orang tua, guru-guru sejak TPQ sampai perguruan tinggi, teman sekolah, hingga rekan kerja. Awal-awal aku sering mengelak dan cenderung membantah, kenapa sih sering banget perempuan yang ditakut-takutin masuk neraka karena ini itu, padahal kan laki-laki dan perempuan punya derajat yang sama di hadapan Allah, tapi dalil-dalil yang populer lebih sering "menakut-nakuti" perempuan... (dalam hati yaa, soalnya kan nggak berani ngomong pas dinasihati, mana nasihatnya perkara lisan, makin-makin lah nanti dimarahin... wkwkwk). Tapi sekarang aku menyadari, memang ujiannya perempuan itu lisannya (atau ketikannya kalau jaman sekarang). It could be bad or good, based on the situation. Jadinya takut salah ngomong deh sekarang :( tapi apa daya nggak akan mungkin, karena komunikasi kita ke sesama manusia ya pakai lisan. Yaa Allah, tolong bantulah aku, takut keceplosan ngomong jelek dan nggak sopan di depan orang-orang 😔

Maafin aku yaa 🙏🙏🙏

Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suami idaman

Bapak