Teh Tarawih
Menemukan draft yang sudah terendap 2 tahun karena tertolak Terminal Mojok, sampai lupa :)
| draft submit tgl 23-03-2023 |
| lalu ditolak tgl 04-05-2023 |
Biar nggak terendap lagi, published aja lah ya di sini... hehehee
*tanpa editing ulang, biar bisa dikomen untuk evaluasi
______________________________________________
Setiap mengunjungi Solo, rumah Budhe, seringkali bertepatan dengan bulan Ramadan. Ramadan tahun ini pun, saya kembali mengunjungi Budhe untuk menemaninya sahur pertama. Seperti sebelum-sebelumnya, dari Jogja menuju Solo menggunakan transportasi umum KRL yang ramah di kantong mahasiswa. Bagaimana tidak, cukup 8000 rupiah bisa sampai Solo (atau sebaliknya) dengan nyaman, meskipun terkadang juga 'agak' desak-desakan sama penumpang lain. Syukurnya saya telat mengejar KRL siang yang berangkatnya pukul 13.20. Sudah diduga juga sebelumnya, karena KRL tadi berpapasan dengan saya saat perjalanan menuju stasiun diantar bapak ojol. Lhah… telat ngejar KRL kok bersyukur? Ya, karena peluang saya dapat tempat duduk lebih besar, saat KRL selanjutnya datang dan menunggu waktu keberangkatan selanjutnya yang hampir mendekati Asar. Waktu lebih dari satu jam bisa digunakan untuk buka laptop atau membaca buku.
Seperti biasa, sampai stasiun pemberhentian terakhir, Balapan, penumpang yang turun banyak sekali. Yang mau naik juga banyak. Hiruk pikuk di stasiun ini, cepatnya langkah kaki tiap orang yang terkesan buru-buru, dan suara koper yang digledek; seringkali memunculkan suasana menyebalkan tapi membuat rindu. Jujur saja, sebagai seorang introvert, saya tidak suka suasana hiruk pikuk semacam ini. Tapi tetap saja selalu rindu untuk kembali kesini. Lebih kesal lagi kalau antrean eskalator panjang sekali (mana eskalatornya Cuma cukup untuk seorang saja), tapi orang-orang yang antre susah ngasih jalan ke orang lain yang mau naik tangga biasa. Hmmm…
Segera setelah keluar stasiun, ojol langsung saya pesan dan driver-nya cepat sekali sampai, tidak sampai 1 menit. Ternyata beliau ini perempuan. Waah, pertama kalinya ini saya order ojol yang driver-nya perempuan, sepertinya seorang ibu anak satu, entah… tidak sempat bertanya.
Pengalaman diantar ibu ojol ini termasuk yang menyenangkan. Setelah kesal dengan hiruk pikuk stasiun, ibu ojol ramah menyambut, mengendarai motor dengan gesit sat set lhas lhes, dan sesekali bertanya dari-mana-mau-kemana tanpa basa basi yang berlebihan. Meskipun salah masuk gang sekali, ibunya gesit putar balik dan bisa membaca peta dengan benar. Saya tidak keblasuk terlalu jauh, sampai rumah budhe dengan aman, dan tentunya masih bisa mengejar solat Asar. Benar-benar pengalaman dengan ibu ojol yang tak mengecewakan. Saya rasa memang benar, seorang perempuan memiliki empati yang lebih dari pada laki-laki. Sebenarnya, tiap kali pesan ojol untuk ke rumah Budhe, titik antarnya selalu di gereja depan gang rumah Budhe (FYI, rumah Budhe saya ini justru lebih dekat dengan gereja daripada masjid). Namun, kali ini ibu ojol menawarkan untuk mengantarkan saya sampe depan rumah persis. Mungkin beliau tahu saya lelah sangat di perjalanan tadi. Terima kasih ibu ojol… rating bintang lima dan sedikit tip tentunya sangat rela saya keluarkan untuk pelayanan yang baik seperti ini :)
Memasuki hari pertama bulan Ramadan, seperti biasa, Budhe mengajak saya ke masjid untuk solat isya dan tarawih berjamaah. Satu hal yang selalu dirindukan pada masa-masa Ramadan di Solo ya ini. Pergi tarawih bersama-sama, jalan kaki dari rumah ke masjid, lalu di pertengahan tarawih mendapatkan teh tarawih. Bukan air putih, bukan kopi, tapi teh. Teh tarawih ini sangat unik dan berhasil masuk di sudut memori untuk saya simpan. Gelas khasnya yang berwarna merah, ukurannya yang kecil (2-3 kali tegukan langsung habis), dan isi tehnya yang hangat manis enak pokoknya; membuat kelelahan fisik saat solat > 20 rakaat tadi tergantikan. Bukan main, keponakan saya yang berusia 3 tahun sampai nambah 5 gelas. Saat ditanya, "mau tambah nggak dek?"; jawabannya selalu "mau". Hingga ceret isi tehnya diambil ibu-ibu takmir (pertanda sudah habis), baru dia berhenti minta. "Sesuk nggawa jimbeng ya Le, nggo madahi teh", guyon Budhe saya.
Pengalaman mendapat teh di tengah-tengah tarawih ini hanya saya alami di masjid dekat rumah Budhe. Di kota lainnya, bahkan di masjid dekat rumah saya pun tidak ada tradisi minum teh di pertengahan tarawih. Karena saya pikir itu budaya Solo, akhirnya saya tanyakan ke Budhe. Kata beliau, tidak ada masjid di Solo (utamanya yang pernah Budhe datangi) yang menyediakan teh tarawih seperti di masjid ini. Hanya teh untuk berbuka puasa (setelah Magrib) atau teh untuk tadarusan (seusai tarawih, yang itupun tidak semua jamaah ikut tadarus). Bagi pembaca yang ingin merasakan nuansa tarawih di masjid tengah kampung, ingin merasakan suasana minum teh ukuran kecil di tengah-tengah tarawih, dan kebetulan sedang di Solo, bisa cari saja di Google Maps Masjid At Tajdiid, Gandekan.
FYI: Ini Masjid NU, tapi tenang saja, semua jamaah diterima dengan baik dan ramah.
Comments
Post a Comment