PASUNG JIWA [BOUND]



Buku ini aku beli pas lagi kalap di Gramedia kemarin (bisa baca postku "Kalap"). Yups. Beli karena ada diskonan dan emang lagi pengen belajar bahasa Inggris. Jadi setelah baca versi Indonesia-nya, aku bakal baca versi Inggris-nya. Nah ada yang unik sih buat pengalaman baca kali ini. Karena aku "baca barengan" sama temen, jadi aku baca "Pasung Jiwa" dan temenku baca "Bound" dalam waktu bersamaan. Kami berencana buat diskusi tentang topik di buku ini setelah masing-masing selesai baca. Dan yaa, ternyata aku yang selesai baca duluan, yeayy. Sebenernya nggak pengen spoiler sih, tapi kebosanan ini membuatku pengen nulis konten dan review buku ini salah satunya, biar nggak keburu lupa sama isinya. 

Kalau dilihat dari judulnya, "Pasung Jiwa", serta di bawah judul ada tulisan "Apa Itu Kebebasan?" kemungkinan besar isi topiknya tentang suatu hal yang mengekang, membatasi, atau melarang terhadap sesuatu. Buku ini juga telah memenangkan Khatulistiwa Award 2012, jadi pasti isinya menarik. Apalagi penulisnya Okky Madasari, yang sering menuliskan kisah-kisah yang kebanyakan orang menganggapnya "tabu", kritik sosial, dan berani dalam penyampaiannya. 

Mulai membaca buku ini aku merasa ada yang berbeda. Di bagian awal terdapat tulisan "Untuk setiap nyala keberanian yang tersembunyi di balik ketakutan". Waah, apa ini? Jadi penasaran buat nyelesaiin baca buku ini. Baca bagian pertama aja aku udah mewek, nggak kuat nahan air mata. Pemilihan kata yang dipakai penulis bener-bener bisa bikin aku terbawa suasana. Sedih banget. Gimana sih rasanya kalau kebebasan yang seharusnya berhak kamu rasakan malah dibatasi? Dan ternyata hal yang membatasi itu dirimu sendiri. 

Membaca keseluruhan buku aku baru sadar kalau ternyata novel ini kisahnya bersambung antar bagian, dengan sudut pandang dari dua tokoh yaitu Sasana dan Jaka Wani. Kedua tokoh dan segala perjalanan hidupnya di novel ini bener-bener kompleks. Penulis mengangkat latar belakang sekitar tahun 1998 saat masa-masa reformasi dan masa sebelumnya. Kebebasan individu yang dibatasi, penguasa yang sok dan tak tau diri, pemerintahan yang bobrok, isu agama, kemiskinan dan perekonomian rakyat, serta keegoisan pribadi yang tinggi dibahas jadi satu di novel ini. Kedua tokoh utama di novel ini sama-sama merasa tak memiliki kebebasan dalam diri. Pernah merasa bebas, tapi orang-orang menganggapnya tak waras. Jadi keinget lagu dangdut koplo yang liriknya kayak gini, "Wong edan kuwi bebas, wong edan kuwi bebas..." (Orang gila itu bebas). Berdasar lirik itu, berarti kalau nggak gila, orang nggak bisa merasa bebas dong??

Di keseluruhan novel, banyak percakapan berbahasa Jawa yang digunakan penulis untuk menambah kesan dan suasana real bagi pembacanya. Bagiku yang memang asli Jawa, udah pasti langsung paham apa artinya, tapi  buat temen-temen yang nggak paham  bahasa Jawa tenang aja, tiap percakapan pasti ada artinya di bagian bawah buku. Penulis sangat vulgar dan berani dalam menjelaskan hal-hal tabu serta mendeskripsikan suatu kejadian. Ada beberapa bagian yang "dewasa", jadi buku ini TIDAK cocok dibaca oleh anak di bawah umur. Ya minimal 19+ lah ya kalau mau baca. Bahkan ada beberapa hal yang aku baru tahu setelah membaca buku ini. Baca buku ini tuh juga membuatku jadi lebih open minded dan mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang "berbeda" dari kita. Setiap orang itu bisa mendeskripsikan kebebasan mereka masing-masing dengan bebas dan mungkin hal itu berbeda dengan arti kebebasan yang kita pribadi pahami. So, saling menghormati pendapat satu sama lain merupakan hal yang paling mungkin untuk mengatasi perbedaan yang terjadi. 

Kata-kata yang menurutku paling ngena itu saat Masita (seorang dokter yang sedang melakukan penelitian untuk menyelesaikan studi spesialis Psikiatri) mengatakan ini pada salah satu pasiennya, "Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkup mereka, hanya karena kalian berbeda."

⭐⭐⭐⭐⭐

Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suami idaman

Bapak