Kayaknya aku kualat

Suara rintik hujan masih terdengar namun samar. Meskipun masih terdengar halilintar bergema, hujan mulai reda. Ntah dari mana asalnya, tiba-tiba pikiranku melayang pada beberapa tahun lalu sebelum corona menyerang. 

Aku ingat, saat itu sedang duduk di depan minimarket bersama sahabatku, sebut saja Ica (kubuat samaran karena tau, dia pasti tak mau ter-publish). Disitu kami mengobrol banyak hal dan sampai pada topik mainstream yang sering dibahas anak muda (eaa.. wkwk), sebut saja virus merah jambu alias Cinta. Emang topik cinta tuh nggak pernah nggak seru kalau dibahas, karena dari satu hal bernama cinta itu, kita bisa belajar banyak hal. Banyak banget malah... 

Ica bercerita tentang pengalamannya masa SMA dan cerita juga kalau teman2 SMA-nya sudah banyak yang mulai "mencari". Mencari jodoh ya maksudnya. Bahkan mereka ada juga yang punya target, lulus kuliah harus udah ada gandengan, meskipun belum lamaran. Yang penting udah ada calon dan nggak di awang-awang. Yaa.. nggak heran juga sih aku, memang mahasiswa menjelang tingkat akhir banyak tuntutannya, apalagi cewek. Habis lulus kuliah pasti ada aja yang nanya. 

Yak betul saudara-saudara. "Kapan nikah?"

Melihatku yang selama ini selow-selow aja perkara jodoh, Ica pun bertanya gimana caraku supaya nggak baper sama cowok dan biasa aja. Ya kujawab kalau caranya itu membatasi komunikasi. Memang it works. Karena dulu pernah hampir baper dan pas agak sadar langsung membatasi komunikasi, jadinya biasa aja. Tapi Ica nggak paham gimana caranya dan dia tetep kekeuh kalau cara itu tuh nggak manjur. Mau membatasi komunikasi kayak apapun kalau yang namanya suka ya suka aja.. kalau yang namanya cinta ya cinta aja.. kalau baper ya baper aja. 

Aku pun ngeyel, "Engga Ca, bisa kok membatasi komunikasi tuh. Misalnya nih, jangan chat sering-sering dan chatnya yang penting-penting aja. Nggak usah kebanyakan basa basi ntah itu pas komunikasi langsung ataupun via chat."

Debat kita tiada akhir dan nggak ada yang mau kalah. Hingga akhirnya kita memutuskan untuk teguh pada keyakinan masing-masing... wkwkwk. 

Dari ceritanya... aku tau bahwa mungkin Ica pernah baper. Meskipun sudah membatasi komunikasinya, mungkin dia belum bisa move on. Itu kemungkinan saja yaa.. karena jujur, aku tak berani menanyakannya lebih lanjut jika ia tak berkenan. 

Lalu kembali ke masa kini, aku sadar bahwa Ica benar dan aku salah. Kayaknya aku kualat karena ngeyel :(. Seperti yang dibilang Ica, membatasi komunikasi agaknya tidak berlaku kalau kita nggak mengendalikan perasaan kita sendiri. Atau.. memang cinta itu tumbuh tanpa kita sadari, ujug-ujug rasanya sakiiit aja pas tau dia sama yang lain... hiks. Kayaknya aku kualat. Karena dulu aku bener-bener yakin, haqqul yakin, nggak bakal jadi cewek baper. Eh.. kena deh. Tapi alhamdulillah, kebaperanku disadarkan Allah dengan patah hati. Alhamdulillah, aku jadi sadar dan nggak meremehkan mereka yang baperan. 

Jujur saja, dulu kalau ada temen cewekku yang baper atau nggak bisa move on, aku ngrasa kayak... ngapain siih nangisin cowok nggak penting banget. Bahkan aku menganggap orang baperan itu pasti karena nggak kuat iman. 

Tapi...  setelah ngrasain sendiri (anggap saja begitu). Fix... I feel you guys.. Nanti-nanti, kalau kalian ada yang nangisin cowok (buat sobat cewekku) atau nangisin cewek (buat temen cowokku), its Okay, itu wajar. Nanti-nanti, kalau ada sobatku (Ica misalnya) curhat tentang kebaperannya terhadap seseorang, aku nggak akan judge dia lemah iman atau nggak bisa membatasi komunikasi. 

Tapi lagi-lagi, meskipun aku sadar Ica benar dan aku salah, membatasi komunikasi dengan lawan jenis supaya nggak baper tetep works, apalagi kita lakuinnya dari awal. Bukan berarti saat aku setuju dengan Ica bahwa membatasi komunikasi bukan faktor penghalang orang jadi baper, lantas komunikasinya jadi nggak dibatasi. NO. Membatasi komunikasi tetap penting, itu ikhtiar kita supaya nggak jadi orang baperan. Tapi pada akhirnya, setelah membatasi komunikasi itu, mau baper atau nggak baper adalah pilihan kita. 

Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Bapak

Suami idaman