Neokolonialisme

Agaknya saya tak bisa tidur sebelum menyelesaikan tulisan ini. Efek membaca novel biografi "Buya Hamka" karya A. Fuadi (meskipun belum selesai baca juga... hehe), yang menceritakan betapa gigihnya Buya dalam menulis, sampai-sampai tidur pun di depan mesin ketik. 

"Jangan biarkan ide cemerlang terjebak dalam badan yang malas. Jangan pernah istirahat sebelum benar-benar lelah."

Jujur, sebenarnya saya tak akan menulis ide cemerlang seperti Buya. Hanya menulis keresahan diri (yang mungkin juga pembaca rasakan), setelah berdiskusi seru kemarin siang bersama rekan-rekan kampus. Salah satu keuntungan kuliah yang paling terasa adalah meningkatnya koneksi dan jaringan pertemanan. Termasuk kemarin siang, saya berkenalan dengan rekan dari fakultas dengan fokus minat yang berbeda tentunya. Satu rekan di bidang Gizi Kesehatan dan rekan satunya Manajemen Agribisnis.

Mula-mula, seperti biasa, kami saling bercerita topik-topik apa saja yang dipelajari di jurusan masing-masing. Lanjut saling tanya tentang "apa masalah yang bisa diatasi dengan bidang keilmuan yang kita punya?", lanjut lagi diskusi dan saling tanya jika ada istilah membingungkan yang tentunya tak dipahami orang awam di luar bidang tersebut. Ntah kenapa, muara diskusi kami sama-sama mengerucut ke politik. 

Saya, yang masih belajar Geodesi/Geomatika membahas sekilas soal geopolitik. Rekan saya yang masih belajar Kesehatan membahas sekilas tentang RUU Kesehatan 2023 yang sedang hitz akhir-akhir ini. Sedangkan rekan satu lagi, yang masih belajar Agribisnis, membahas sekilas tentang politik pertanian. Waah, memang seru kalau bahas politik. Padahal awalnya hanya membahas kehidupan sehari-hari, tapi terus berlanjut sampai ke politik. Karena ternyata, banyak aspek dari kehidupan kita dipengaruhi oleh politik. Banyak yang tidak sadar akan hal itu, termasuk saya, dulu. 

Sebenarnya ada berbagai macam topik yang kami diskusikan. Namun, satu topik yang menjadi alasan saya ingin menuliskannya ada satu. Tentang kedelai. 

Diskusi kedelai ini bermula dari rekan saya yang menjelaskan perbedaan ekonomi dan bisnis dalam bidang pertanian (tentu saja rekan yang sedang belajar Manajemen Agribisnis). Intinya, bisnis itu lebih ke lingkup mikro, seperti bagaimana peningkatan produktivitas hasil pertanian untuk keuntungan yang lebih banyak. Sedangkan ekonomi lebih ke lingkup makro yang lebih luas, seperti kebijakan pertanian, ekspor-impor, dll. 

Impor Kedelai

Salah satu isu yang paling populer dan sampai sekarang tentu kita rasakan adalah impor kedelai. Indonesia sebagai negara dengan konsumsi kedelai tinggi (tempe, tahu, susu kedelai, dll) justru memperoleh bahan baku kedelainya mayoritas dari impor. Kedelai lokal dirasa lebih mahal dan produksinya sedikit, sehingga tak mampu menyediakan permintaan konsumen yang sangat besar. Lalu sejak kapankah impor kedelai ini terjadi? Bagaimana awal mulanya dan mengapa kedelai yang dikonsumsi rakyat Indonesia mayoritas kedelai impor, bukan kedelai lokal?

Dulu pada masa orde baru, impor bahan pangan itu dilarang. Indonesia menerapkan kebijakan swasembada pangan sehingga seluruh pangan dihasilkan dari tanah sendiri untuk rakyat sendiri. Sejak reformasi, kebijakan larangan impor ini dihapuskan, sehingga beberapa negara melirik adanya peluang untuk melakukan ekspor ke Indonesia (menawarkan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia untuk melakukan impor). Salah satu komoditas ekspor yang ditawarkan adalah kedelai. Berdasarkan tesis yang telah terpublikasi dalam jurnal oleh Primasari dkk. (2010), "Indonesia membebaskan tarif impor kedelai 0% pada 1998-2004, menetapkan kembali sebesar 10% pada 2005-2007, dan membebaskannya lagi pada awal 2008 akibat terjadinya gejolak harga kedelai di pasar dunia". Sebagai pengusaha, tentu impor kedelai menjadi hal yang sangat menguntungkan. Selain harganya murah, negara pemasok kedelai juga menawarkan hutang jangka panjang (sampai 10 tahun).

Amerika Serikat (AS), Argentina, Brazil, Malaysia, dan India adalah lima negara pemasok kedelai di pasar Indonesia (Aryaraja, 2013). Dari keseluruhan pemasok kedelai di Indonesia, AS merupakan negara yang mendominasi. Sebesar 72% kedelai impor berasal dari negara tersebut (Aryaraja, 2013). Wow, sangat mencengangkan. Saya, sebagai konsumen tempe, tahu, dan susu kedelai tidak sadar bahwa ternyata selama ini, bahan pangan yang biasa saya makan itu hasil impor. Dari skripsi yang telah dipublikasikan dalam bentuk jurnal oleh Aryaraja (2013), saya menemukan website yang menjadi salah satu referensi penulis, yaitu http://soystats.com/. Dalam website tersebut terpampang secara nyata dan jelas bahwa Indonesia menjadi negara tujuan ekspor kedelai dari AS, dan bahkan negara kelima dengan jumlah ekspor terbesar dalam periode 2021/2022. 

Whole Soybean Exports of U.S. Soybean & Soy Product Exports 2021/2022 Marketing Year (Sumber: http://soystats.com/u-s-exports-soy-products-exports-by-customersda/) 

Tak usahlah jauh-jauh menengok website milik AS. Website BPS Indonesia saja (https://www.bps.go.id/) memang sudah jelas terpampang secara nyata bahwa pemasok kedelai terbesar adalah AS. Jadi, sejak 1998 hingga kini kedelai AS telah mendominasi pasar Indonesia. Sudah 25 tahun, quarter life. Wuiih, jadi seumur hidup saya terpaparlah dengan kedelai impor yaah... baru sadar. 

Kegiatan ekspor-impor bahan pangan merupakan kegiatan ekonomi yang wajar dilakukan oleh negara sebagai bentuk kerjasama dan saling memenuhi kebutuhan. Namun, ketergantungan impor kedelai dengan volume yang sangat masif akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan di Indonesia (Supadi, 2009). Seperti yang terjadi pada 2008, harga kedelai naik dua kali lipat sehingga tarif impor dibebaskan kembali (Supadi, 2009; Primasari dkk., 2010). Kenaikan harga kedelai kembali naik tahun 2022 lalu yang diakibatkan ketergantungan impor dari Amerika Serikat, menurut Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, yang tertulis dalam artikel tempo.co, Minggu, 6 November 2022. Secara logika, ketergantungan terhadap suatu komoditas berakibat pada "monopoli" yang dapat dilakukan sewenang-wenang oleh pemilik komoditas tersebut. Mungkin dampaknya belum terjadi sangat fatal sekarang, tapi kita tak tau bagaimana masa depan. 

GMO Kedelai

Genetically Modified Organism (GMO) merupakan suatu organisme hasil rekayasa genetik. Tak hanya dapat dilakukan pada kedelai, tapi seluruh tanaman atau hewan (makhluk hidup) dapat direkayasa genetiknya untuk memperoleh sifat-sifat turunan yang menguntungkan. Sudah populer juga bahwa kedelai impor mayoritas adalah hasil rekayasa genetik, alias Kedelai GMO. Jadi, setelah membahas soal impor kedelai, rekanku satunya yang sedang belajar Gizi langsung menimpali betapa bahayanya GMO kedelai ini untuk kesehatan manusia, harusnya itu jadi pakan ternak, bukan bahan pangan manusia. Masyarakat AS saja dilarang untuk mengonsumsi kedelai GMO, tapi kenapa malah diekspor ke Indonesia? Sungguh, rekan-rekanku yang kritis ini membuat diri ikut berpikir pula. 

Dari impor kedelai, gmo kedelai, kini obrolan menuju pada topik "Konspirasi Kedelai GMO". Waah... menarik. 

A: "Aku pernah denger konspirasi tentang kedelai GMO, katanya itu bisa mempengaruhi kualitas sperma manusia. Jadi kualitas spermanya tidak bagus gitu."
G: "Ya aku kurang belajar topik GMO sih, cuma emang secara gizi, kedelai GMO itu tidak lebih baik dari kedelai lokal."
A: "Tapi menurut mbak, sebagai anak Gizi nih, percaya nggak sama konspirasi tadi."
G: "Percaya! Soalnya itu memang kenyataannya banyak orang yang kena dampaknya di kesehatan."

Obrolan ini kusimpulkan begini. Jadi, sistem impor kedelai itu sudah direncanakan. Kualitas kedelainya memang bagus, tapi hasil GMO, yang mana kurang baik untuk kesehatan manusia. Bukan hanya itu, melainkan juga kurang baik untuk kualitas sperma yang tentunya berpengaruh juga terhadap kualitas generasi selanjutnya. Bahkan Australia dan negara-negara Eropa enggan mengimpor kedelai AS karena dampak negatifnya pada kesehatan, menurut Jonathan Agranoff (pakar tempe asal Inggris) dalam artikel Republika (Mardiani, 2012). Jonathan Agranoff juga menjelaskan bahwa kedelai lokal asal Indonesia seperti Wilis, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Kaba, Tanggamus, Sinabung, Panderman, Detam-1, Detam-2, Grobogan, Gepak Ijo, Gepak Kuning, dan SHR/Wil-60, merupakan kedelai lokal dengan kualitas bagus. 

OH MY GOD. Saya seperti menemukan garis besarnya. Apakah ini sudah direncanakan untuk perlahan merusak generasi? Perkara kedelai ini sudah bertahun-tahun. Kalau dikaitkan dengan budaya lokal, misalnya tempe, produk makanan lokal yang membudaya, kayaknya nggak pengaruh juga sama impor kedelai. Karena tempe bisa dibuat dari biji-bijian apa saja, tidak harus kedelai putih (Ahnan-Winarno dkk., 2021).

Neokolonialisme 

ne.o.ko.lo.ni.al.is.me /neokolonialismê/

⇢ Tesaurus

  • n kolonialisme cara baru (misalnya penjajahan ekonomi dan kebudayaan): bantuan negara asing yang terlalu mengikat akan menimbulkan bentuk --

Lalu apa kaitannya kedelai dan neokolonialisme? 
Seperti yang sudah saya tulis di bagian sebelumnya, dari keseluruhan isu kedelai ini kalau disimpulkan mengarah pada neokolonialisme. Berdasarkan KBBI Daring, neokolonialisme merupakan penjajahan ekonomi dan kebudayaan. Apa lagi kalau motif utamanya bukan ekonomi ye kann? Penawaran untuk melakukan impor kedelai dengan harga murah dan boleh utang, agaknya memang siasat penting supaya Indonesia secara tidak sadar "terjajah". 

Sebagai pemuda Indonesia yang tak berkiprah di dunia ekonomi maupun politik, tentunya saya tak tahu bagaimana solusi spesifik yang dapat dilakukan untuk mengatasi isu ini. Namun, lagi-lagi, tak akan semudah itu untuk mengubah dan mentransformasikan sistem yang sudah lama digunakan. Impor kedelai mungkin hanya salah satu isu dari banyaknya isu yang tanpa kita sadari mengarah ke neokolonialisme. Tapi tentunya, pandangan tiap orang berbeda-beda. Kedelai GMO impor memang masih aman untuk konsumsi, tapi jika dikonsumsi terus menerus lintas generasi, dampaknya akan terasa jangka panjang. 

Mungkin, satu hal mudah yang dapat diupayakan adalah sadar. Menyadari apa yang kita makan, darimana produknya berasal, kehalalannya, serta dampaknya bagi kesehatan. Saya percaya banyak pemuda Indonesia yang sadar akan neokolonialisme yang "telah terjadi" di Indonesia. Untuk itu, menjaga kualitas gizi yang masuk ke tubuh kita perlulah diperhatikan. Selain berpengaruh pada kondisi fisik tubuh, juga berpengaruh pada kemampuan otak untuk berpikir. Memikirkan masa depan bangsa ini. Ealah nulis apa sih... wkwk. 

Ya pokoknya begitulah. 
Inti dari tulisan ini adalah ingin mengingatkan pada diri sendiri dan juga teman-teman pembaca bahwa politik mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Sebentar lagi akan pemilu, pilihlah pemimpin yang setidaknya sadar dan concern terhadap isu-isu penting, salah satunya terkait impor kedelai. 


Referensi

Ahnan-Winarno, AD, Cordeiro, L, Winarno, FG, Gibbons, J, Xiao, H. (2021). Tempeh: A semicentennial review on its health benefits, fermentation, safety, processing, sustainability, and affordability. Compr Rev Food Sci Food Saf. 2021; 20: 1717– 1767. https://doi.org/10.1111/1541-4337.12710

Aryaraja, A. M. (2013). Dominasi Amerika Serikat Dalam Perdagangan Kedelai Impor Indonesia Tahun 1998-2000. Jurnal Universitas Airlangga. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi7b8dd46cbb2full.pdf

Mardiani, D. (2012). Pakar: Kedelai Indonesia Lebih Baik dari Impor. https://news.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/07/25/m7q0vk-pakar-kedelai-indonesia-lebih-baik-dari-impor?

Primasari, R., Hardyastuti, S., & Mulyo, J. H. (2010). DAMPAK PERUBAHAN TARIF IMPOR KEDELAI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT INDONESIA. Agro Ekonomi, 17(1). https://doi.org/10.22146/agroekonomi.17862

Putri, R. S. (2022). Mendag: Harga Kedelai Naik karena RI Masih Impor dari Amerika Serikat. tempo.co, 6 November 2022, https://bisnis.tempo.co/read/1653808/mendag-harga-kedelai-naik-karena-ri-masih-impor-dari-amerika-serikat#:~:text=TEMPO.CO%2C%20Jakarta%20%2D%20Menteri,belinya%20Agustus%2C%20baru%20sampainya%20sekarang.

Supadi, S. (2009). Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan terhadap Ketahanan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 7(1), 87-102. https://epublikasi.pertanian.go.id/berkala/akp/article/view/721/696


Versi pdf Tempeh oleh Ahnan-Winarno dkk., (2021) : 

https://www.researchgate.net/publication/349218836_Tempeh_A_semicentennial_review_on_its_health_benefits_fermentation_safety_processing_sustainability_and_affordability

Comments

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Suami idaman

Bapak