Renungan Kloset dan "Kamus Kecil di Buku Latihan Tidur"
NB: tulisan ini sudah lama diketik tapi mengendap di draft blog, jadilah baru dipublikasi sekarang :)
19 Maret 2023
Hari ini, kali kedua mengunjungi Perpustakaan Kota Yogyakarta yang berlokasi di daerah Kotabaru. FYI, ada dua perpustakaan Kota Yogyakarta, di PEVITA dan Kotabaru. Di depan perpustakaan ini (Kotabaru), ada sebuah pojok baca yang menarik perhatian saya. Posisinya yang cukup adem, terdapat bangku di dekatnya, dan meskipun isi bacaannya tidak lengkap, tapi cukup menarik untuk sekadar mampir di pojokan situ. Setelah mengisi daftar kunjungan pembaca, saya mengambil satu buku kumpulan puisi yang sampulnya unik. Sesuai dengan judulnya, "Renungan Kloset", sampul buku tersebut juga bergambar kloset.
Cover buku "Renungan Kloset: dari Cengkeh sampai Utrecht" karya Rieke Diah Pitaloka |
Karena terburu-buru akan masuk ke perpustakaannya, jadi di pojok baca ini hanya membaca kata pengantar yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma. Paragraf pertamanya langsung membuat saya mikir dan makin tertarik dengan puisi.
Pengantar buku "Renungan Kloset" yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma |
Setelah puas foto-foto estetik "pura-pura" membaca buku di trotoar pojok bacaan, saya masuk ke dalam Perpustakaan dan tentunya langsung menuju rak yang berisi kumpulan buku puisi. Memang, saat di perpustakaan umum begini, saya lebih memilih pinjam buku puisi. Kenapa? Karena suka puisi, tapi merasa kurang worth it jika beli buku yang habis dibaca sekali duduk, kecuali memang bener-bener bagus banget dan sangat super duper mengena.
Pilihan tertuju pada tiga buku, "Buku Latihan Tidur"-nya Joko Pinurbo, "Mencari Raden Saleh" karya Kurnia Effendi (yang dipilih karena judulnya mirip judul film yang hitz baru-baru ini : Mencuri Raden Saleh), dan "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949" karya Chairil Anwar. Namun sayangnya, dari ketiga buku yang ingin diselesaikan, hanya satu buku saja yang selesai dibaca sekali duduk di perpustakaan ini. Ya, karena waktunya kurang panjang, hanya buka sampai pukul 12 siang saat akhir pekan.
"Buku Latihan Tidur" menjadi buku ke-3 kumpulan puisi karya Pak Joko Pinurbo setelah membaca "Perjamuan Khong Guan" dan "Salah Piknik". Saat awal membaca buku ini, sangat antusias dan terkejut serta terheran-heran... kok bisa yaa memilih kata yang "dibolak-balik" doang untuk dirangkai jadi kalimat yang tak hanya bermakna tapi juga indah saat dibaca. Puisi berjudul "Kamus Kecil" yang paling mengena ke perasaan dan membuat saya bengong sejenak sebelum akhirnya berdiskusi makna dengan rekan saya.
KAMUS KECIL
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
walau kadang rumit dan membingungkan.
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira,
sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.
Kok bisa yaa, penulis mampu memilih kata yang cuma dibolak-balik hurufnya, tapi kalau dirangkai bisa jadi punya makna. Kok kepikiran gitu. Dari ribuan bahkan ratusan ribu kosakata dalam bahasa Indonesia, bisa-bisanya ia memilih kata yang hanya dibolak-balik hurufnya saja. "bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman" jadi kalimat penutup yang membuat mak nyes... hmm, lalu bengong.
"Mirip dengan permainan anagram yaa", ujar rekan diskusi saya mengenai puisi "Kamus Kecil" ini. Penulis puisi, saya kira, sangat pandai bermain anagram, sebuah permainan kata yang mengacak huruf-huruf menjadi kata baru yang berbeda makna. Jadi teringat drama "Start Up" saat sebuah hacker memberikan kode yang sangat jelas, yang tidak mungkin ditulis seorang hacker. Ternyata, perlu penyelesaian anagram untuk memecahkan kode tersebut. Intinya, kode tidak bermakna secara tersurat. Waah... menarik juga yaa bahasa ini.
Saya jadi merenung sejenak. Benar juga, ternyata puisi yang dilihat sangat sepele, pendek-pendek, dan agaknya setiap orang bisa menuliskannya; dapat menjadi sebuah perenungan dan menghidupkan jiwa yang mati dalam raga yang masih hidup. Karena puisi bebas ditulis dengan gaya dan bahasa apapun, untuk tujuan apapun, dengan cara apapun, maka memang puisi menjadi sarana tulis yang lebih jujur dari non fiksi.
Comments
Post a Comment