Kancaku nikah, bulikku (sing seumuran) nikah, katingku nikah, tanggaku nikah. Aku kapan?
Wkwk
Sambatan kocak yang mungkin akhir-akhir ini sering singgah di pikiran.
Memang nikah kuwi syarate namung kalih. Kalih sinten? wkwkwk
Nggak berasa umurku udah semakin tua yaa... meskipun sebenernya aku ngrasa masih muda banget, tapi di usia-usia awal dua puluhan, perempuan di Indonesia itu udah banyak yang nikah. Pengen sih punya partner kehidupan yang bisa saling bertumbuh bersama (a.k.a suami), tapi jujur sampe sekarang masih ada sedikit ketakutan buat nikah. Mungkin itu pulalah yang membuat Allah belum menunjukkan tanda-tanda jodoh. Woyy jodoh... kamu di mana woyy? wkwk. Iyaa kamuuu...
Aku percaya, Allah akan memberi rezeki yang cukup bagi setiap hamba-Nya. Tapi, bukankah jika hanya modal cinta tanpa harta, itu tanda belum siap nikah? Memang, menikah tak harus mewah. Hidup sederhana bersama pasangan dan keluarga kecil kita juga tak apa. Tapi, pikiranku macam-macam. Karena belajar keuangan juga, aku baru melek dan sadar betul perihal kemandirian finansial. Dana darurat sudah cukup kah? Asuransi kesehatan sudah punya? Tabungan untuk beli rumah dan kebutuhan masa depan sudah ada? Tabungan haji gimana? Kalau tabungan dana pendidikan anak? Dana pensiun? Dana kematian (untuk mengurus kematian diri, kain kafan, acara pengajian, dll)? Ya Allah... ternyata banyak sekali kebutuhan hidup yang mana perlu uang. Mungkin itulah overthinking seorang hamba yang masih dalam tahap "pengangguran" seperti aku sekarang. Takut, kalau misal menikah nanti, meski akan dinafkahi suami secara pasti, jika tak punya penghasilan pribadi akan bingung jika ada sesuatu yang butuh backup.
Saat masalah finansial sudah teratasi, kebutuhan pokok terpenuhi, bahkan keinginan dapat terwujud bersama pasangan. Lagi-lagi overthinking soal kondisi mental. Nanti, saat menikah, aku khawatir sulit adaptasi di keluarga suami. Apakah mertuaku baik hati dan bisa memahamiku? Apakah kakak/adek iparku menyenangkan dan perhatian? Dan apakah-apakah lainnya. Lalu saat masa-masa menjadi ibu baru. Aku takut sekali menjadi ibu yang kurang baik. Takut terkena baby blues maupun postpartum syndrome. Apakah aku bisa mengelola diri dan membagi waktu antara suami, anak, dan diriku sendiri?
Finansial dan mental aman, tapi Ibuk pernah bilang bahwa setiap pernikahan itu butuh perjuangan. Nggak ada pernikahan yang selalu bahagia, pasti ada beberapa ujian atau masalah yang tak diharapkan, tapi kejadian. Ya, itu benar. Banyak sekali kisah-kisah yang kudengar, baca, dan lihat. Dalam pernikahan selalu ada ujian (dari sisi manapun itu, berbeda-beda). Faktor pasangan menjadi penting. Apakah dia bisa bersama-sama berjuang dan saling menguatkan? Ataukah mengabaikan dan cenderung menghindar dari permasalahan? Lagi-lagi overthinking. Bagaimana nanti karakter suamiku? Apakah ia mau diajak diskusi? Bisakah bijak dalam melihat suatu masalah? Apakah ia mau menegurku dengan lembut saat aku salah? Atau justru membiarkanku dalam kebingungan dan akhirnya mengulang kesalahan yang sama?
Untuk itu, aku tulislah blog ini. Harapannya, sebelum menikah nanti (jika Allah takdirkan aku memiliki jodoh dunia), calon suamiku membacanya.
Aku tahu, setiap orang tidak sempurna, termasuk diriku. Tapi, bolehkah aku meminta beberapa hal ini untuk ada dalam diri suamiku.... Sesuai dengan judul, akan kutuliskan ciri-ciri suami idaman.
Sekufu dalam pemikiran.
Saat orang lain "hanya" menganggap sekufu itu soal harta, tahta, dan fisik belaka, aku lebih memaknai sekufu sebagai kesetaraan dalam pemikiran. Apakah sepemikiran atau berkebalikan? Jika berbeda pemikiran, bisakah diselaraskan? Aku tidak menuntut suamiku setara latar belakang pendidikannya denganku. Jika sama-sama berpendidikan tinggi (a.k.a kuliah) OK, kalaupun ia tak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi juga tak apa. Yang terpenting adalah bisa mengelola akalnya dengan baik untuk berpikir.
Mau dan suka belajar berbagai hal
Menikah adalah perjalanan bersama menuju-Nya. Tentunya akan banyak hal baru yang akan kami hadapi kedepannya. Seseorang yang mau belajar, kurasa tak akan langsung menyalahkan saat ia melihat ketidaklaziman di hadapannya. Seseorang yang mau belajar, kurasa tak akan mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari. Seseorang yang mau belajar, akan jadi partner belajarku apapun itu.
Memiliki gaya hidup yang sama, atau setidaknya sedang berusaha menuju ke sana.
Gaya hidup yang kumaksud di sini ada beberapa hal:
(nb: aku belum sepenuhnya melakukan gaya hidup ini, tapi gaya hidup ini adalah gaya hidup ideal menurutku, sehingga berusaha menuju ke sana)
1. Minimalism
Minimalis terhadap berbagai hal dalam hidup, mulai dari barang yang kita punya, digital minimalism (storage digital), maupun minimalis terhadap apa yang dipikirkan. Saat menjadi minimalis, ruangan atau rumah akan lebih mudah diatur sehingga jadi lebih rapi. Saat suasana rapi, pikiranpun bisa jernih untuk melakukan berbagai aktivitas produktif.
Contoh praktik: punya barang secukupnya, saat rusak diperbaiki, hanya membeli barang kebutuhan yang bermakna
2. Zero waste/minim sampah
Bencana iklim sudah mulai muncul tanda-tandanya. Sebagai orang biasa saja, berusaha meminimalisir sampah akan membantu menuju net zero emission. Banyak sekali permasalahan sampah yang menjalar ke permasalahan lainnya, bikin pusing. Dengan memiliki gaya hidup zero waste, semoga bisa berkontribusi untuk masa depan. Cintai diri dengan cintai bumi. Bayangkan punya harta banyak tapi bencana iklim, ya sama aja...
Contoh praktik: reduce, reuse, recycle, mengompos, menggunakan tas belanja/wadah pakai ulang, belanja produk curah/isi ulang, dll.
3. Eating Clean
You are what you eat. Makanan yang kita makan mempengaruhi performa fisik dan kesehatan. Saat sehat fisik, maka sehat mental lebih mudah dicapai. Memang kebanyakan makanan untuk eating clean agak mahal (misal: beras merah, sayuran organik, minyak kelapa murni, madu, dll). Namun hal itu tak sebanding dengan manfaatnya. Makanan sehat adalah investasi kesehatan alami. Lebih mahal biaya rumah sakit daripada makanan eating clean. Tapi tenang aja, banyak kok makanan sehat yang nggak mahal. Intinya, eating clean itu makan makanan yang minim proses (natural dari alam, bukan ultra-processed food), semakin natural makin bagus.
Contoh makanan eating clean: buah-buahan, umbi-umbian (singkong, ubi ungu, ubi cilembu, ganyong, uwi, kentang, dll), sayuran segar, telur, ikan, MENGHINDARI MINYAK, TEPUNG TERIGU, SUSU, DAN GULA/GARAM BERLEBIH.
Mengutamakan diskusi sebelum mengambil keputusan
Aku bukan feminis, tapi aku berharap dapat terlibat dalam pengambilan keputusan di rumah tangga nanti. Memang, suami adalah imam dan pengambil keputusan final. Tapi setidaknya, sebelum mengambil keputusan, aku ingin dilibatkan dalam diskusi dan didengarkan, meskipun akhirnya tidak menggunakan pendapatku juga. Yang terpenting, tiap ada sesuatu yang berpengaruh terhadap rumah tangga kita, aku ingin kamu (suamiku) untuk bercerita denganku, berdiskusi dan mendengar pendapatku. Itu saja. Jujur, aku paling nggak suka sama orang yang diem-diem bae tiba-tiba udah take action. Ya kalau itu untuk urusan pribadinya dan nggak mempengaruhi orang lain, kalau berpengaruh sama orang lain kan nyebelin itu namanyaaa.
Mengizinkanku untuk bekerja, berkarya, dan berdaya
Aku suka belajar dan alhamdulillah berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Orangtuaku memberi amanah untuk belajar, dan harapannya juga ilmuku dapat diamalkan. Bahkan motto hidup yang kupegang sampai sekarang adalah "Beramal dengan ilmu, ilmumu amalkan!" yang kuperoleh dari Bapak. Dengan mengizinkanku bekerja, berkarya dan berdaya serta bermanfaat untuk masyarakat, kamu (suamiku) juga akan mendapat aliran pahalanya karena telah mengizinkanku mengamalkan ilmu yang dititipkan padaku. Bolehh yaa beb aku berkarier dan lanjut sekolah lagii.... hehehe.
Berkomitmen dalam mendidik anak-anak bersama
Anak-anak butuh kehadiran kedua orangtuanya. Bukan salah satu. Bukankah bikinnya bareng (?) mendidiknya juga bareng-bareng dong, wkwkwk. Cita-cita terbesarku adalah menjadi seorang ibu yang baik dan benar, salah satu caranya dengan memilihkan ayah yang baik dan benar pula. Aku berharap, suamiku tak hanya jadi pasangan terbaik untukku, tapi juga ayah terbaik untuk anak-anak kami.
Suka membaca buku atau setidaknya mendukung hobiku satu itu :)
Sudah lama aku berbagi dan mem-branding diri sebagai seorang pecinta buku. Dan itu nyata, bukan hanya pencitraan. Saat perempuan lain suka menggunakan uangnya untuk beli skincare, baju, atau produk fashion untuk mempercantik diri, aku lebih suka menggunakan uangku untuk beli buku. Bahkan sampai tulisan ini ditulis, aku masih punya tumpukan buku yang belum terbaca tuntas, ada dua paket buku yang barusan datang, dan dua paket buku lagi masih di perjalanan dengan kurir. Hiburanku pun murah saja. Cukup berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan gratis atau menghadiri bazar buku, sudah membuatku happy. Oleh karenanya, aku berharap suamiku juga seorang yang suka baca buku, mau menjelajahi perpustakaan, toko buku, atau cafe buku; dan tentunya mau menemani ke berbagai bazar buku.
Tidak merokok, vape, dan/atau sejenisnya
Ini udah mutlak, nggak boleh diganggu gugat. Silakan baca di tulisan
"Dilarang Merokok" ←diklik saja.
Yaah itulah beberapa ciri-ciri suami idamanku. Selain harapan di atas, satu hal lagi yang tentunya sangat mutlak : MUSLIM, beradab dan berakhlak baik.
Tulisan bagus, semoga lekas menikah dengan laki2 solih. Sudut pandang lain, justru Allah ta'ala menciptakan keharmonisan pada perbedaan. Pecanda-peserius, siang-malam, langit-bumi, timur-barat, panas-dingin, dll. Justru dalam perbedaan ada sakinah. satu hal yg mesti sama adalah misinya yg jauh, berkumpul di surga. Contoh aja kalo pasangan sama2 pendiam, kan aneh, di rumah diem2an terus :)
ReplyDelete