Sejak 2019 lalu, aku mulai tertarik dan penasaran tentang feminisme. Apakah itu feminisme? Kenapa bisa ada gerakan itu? Siapa pencetusnya? Tujuannya apa? Dan banyak pertanyaan lain yang muncul dalam benak. Sebenarnya hal itu terjadi bukan tanpa alasan.
Pertama, aku perempuan. Saudara kandungku semua perempuan. Ibuku jelaslah perempuan. Teman-temanku didominasi oleh perempuan.
Kedua, isu-isu tentang perempuan seringkali kudengar. Apalagi aku juga anggota annisa rohis fakultas. Ya, Bidang Annisa itu bidang khusus perempuan atau biasa juga disebut dengan departemen kemuslimahan. Jadi, kajian-kajian tentang perempuan sering kudengar. Bahkan kami juga membuat konten baik melalui mading ataupun via online tentang perempuan/kemuslimahan/wanita.
Ketiga, aku sering mengalami momen yang menyebalkan (menurutku) karena aku perempuan. Bukannya menyangkal takdir, tapi kurasa (saat itu) lebih baik menjadi laki-laki. Atau... aku sering membayangkan, seandainya aku laki-laki mungkin hal itu tak akan terjadi.
Mulai banyak buku yang kubaca. Berbagai macam buku, salah satunya yang bertema perempuan. Terkadang aku sangaaaaaat kesal, tapi dalam diri tidak bisa juga membenci laki-laki. Karena sejatinya perempuan dan laki-laki sama-sama manusia. Ya, manusia.
Sampai akhirnya di tahun 2020 lalu menemukan buku ini, "Muslimah yang Diperdebatkan". Karena belum ingin membelinya tapi penasaran, kulihat tulisan atau video Mbak Kalis yang membicarakan tentang perempuan. Semakin penasaran, jadilah akhir tahun kubeli buku ini dan baru selesai kubaca hari ini.
Jujur saja, buku "Muslimah yang Diperdebatkan" ini tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Buku "Sarinah" karya Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, justru yang lebih banyak menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang perempuan.
Well, mungkin karena buku Mbak Kalis ini bukan buku sejarah dan bukan pula buku filsafat, lebih kayak kumpulan tulisan jurnalis. Membaca buku ini tuh, rasanya kayak ndengerin Mbak Kalis. Seolah-olah Mbak Kalis di depanku lagi cerita. Yaa, karena bahasanya juga nggak terlalu baku, jadi enak sih dibacanya. Setiap tulisannya selalu ada riset. Ntah dari buku, media sosial, kutipan ayat atau hadis, bahkan dari pengalaman penulis sendiri saat mengobrol dengan orang lain.
Tapi, meskipun ada beberapa yang aku belum puas dengan membaca buku ini, cukup banyak insight yang kudapatkan. Salah satunya Panca Dharma Wanita. Aku baru tahu pertama kali isi tentang Panca Dharma Wanita tuh di buku ini. Dulu mungkin pernah denger tentang Dharma Wanita dari ibuku, cuma nggak tau kalau ada text Panca Dharma Wanita ini.
- Wanita sebagai istri pendamping suami
- Wanita sebagai ibu rumah tangga
- Wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak
- Wanita sebagai pencari nafkah tambahan
- Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat
Dengan membaca sekilas aja, sebagai perempuan aku kesel banget. Jujur, Panca Dharma Wanita ini bukannya memuliakan wanita, malah merendahkannya dan menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua di bawah kedudukan laki-laki. Sediih, memang budaya Indonesia patriarki siih... hmm. Terserah saja kalian para pembaca blog-ku ini menganggap aku feminis atau apa, tapi akan kuberikan beberapa argumen dan alasan kenapa aku nggak setuju, so jangan sewot dulu. Oh iya, pendapat ini juga sebagian dari pendapatnya Mbak Kalis di buku ini yang aku juga setuju.
Wanita sebagai istri pendamping suami
Kata "pendamping" ini menganggap seolah-olah perempuan itu ada di belakang laki-laki. Ya, "hanya mendampingi", bukan pelaku utama. Aku nggak setuju ini, karena seharusnya suami dan istri itu ya saling bantu-membantu, saling melengkapi, dan saling bekerja sama. Jadi lebih seperti "partner" suami, bukannya "pendamping" suami. Kata-kata "pendamping" juga kayak menganggap perempuan sebagai pajangan aja yang nggak bisa diberi tanggung jawab apapun karena dianggap nggak mampu. Hadeuuh..
Wanita sebagai ibu rumah tangga
Nahh, ini sangat jelas kalau wanita dianggap sebagai seorang yang wajib ngurus rumah tangga, dalam hal ini yang bersifat domestik. Jadi apapun itu, nyapu, ngepel, mencuci baju, masak, nyuci piring, jemur pakaian, menyeterika, dan segala hal urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab ibu rumah tangga. Lha kok enak banget yaak. Bukannya gimana-gimana. Ini yang aku nggak setuju bahkan sejak kecil dulu aku sudah merasakan. Anak perempuan tuh yang harus bantu ibu di dapur, nyuci, masak, dll sedangkan anak laki-laki mah bebas, mau main layangan, main bola, dan apapun itu, nggak bakal disuruh bantu ibu. Itulah yang membuat tradisi bahwa perempuan "harus wajib banget kudu" mengurus semua kebutuhan rumah tangga. Ya, sesuai pendapatku tadi. Seharusnya suami dan istri, laki-laki dan perempuan itu saling bantu membantu. Rasulullah saja mencontohkan kalau beliau juga membantu istrinya. Masa' manusia biasa nggak mau bantu. Hadeuhh..
Wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak
Ini apalagi. Aku nggak setuju sama sekali. Penerus keturunan tuh ya ibu dan bapak, suami dan istri, laki-laki dan perempuan. Lha kok ini diberikan ke perempuan saja. Mana bisa ibu hamil tanpa sperma dari bapak. (Mohon maaf ni, bukannya nggak sopan, tapi mari kita berbicara berdasarkan sains). Seorang bayi atau anak tercipta dari ovum ibu dan sperma bapak, mengalami pembuahan, menjadi zigot, morula, blastula, gastrula, neurula, fetus/janin, dan terus bertumbuh kembang menjadi bayi. Jadi nggak bisa cuma jadi tanggung jawab perempuan saja sebagai penerus keturunan. Trus poin ini tuh juga kek menganggap kalau misal belum punya anak, ya yang salah istrinya, padahal belum tentu si istri yang mengalami kemandulan. Lanjut ke kalimat setelahnya, selain "penerus keturunan" juga "pendidik anak". Hellooww... anak itu dibuat bareng-bareng sama ibu dan bapak, jadi ya harus dididik bareng-bareng juga sama ibu dan bapak. Anak butuh kasih sayang dari ibu dan bapaknya, bukan dari ibunya saja. Banyak sekali kasus anak kurang kasih sayang bapak yang "bermasalah", jadi ya jangan salahin ibunya doang, bapaknya ikut mendidik nggak??
Wanita sebagai pencari nafkah tambahan
Ini aku nggak setuju karena dalam kenyataannya, nggak semua perempuan memiliki suami dengan pekerjaan mapan. Jadi, kalaupun mereka membantu bekerja ya jadi pencari nafkah tambahan yang artinya tidak bisa memiliki jabatan yang sama dengan laki-laki dan bisa digaji rendah meskipun dengan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Hadeuuh..
Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat
Iya, saya setuju dengan poin yang kelima ini asalkan jangan ada embel-embel. Soalnya kebanyakan tuh mengartikan kalau hak pilih politiknya ya ngikut suami. Suami pilih partai A, istri juga harus ikut.
Meskipun cuma satu poin aja yang aku sampein dari buku "Muslimah yang Diperdebatkan" ini, jadinya panjang juga ya postingannya... wkwk. Sekalian #luapanemosi hehe. Oh iya, ternyata topik mengenai Panca Dharma Wanita ini pernah diteliti sama mahasiswa Undip, judulnya "Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam Konteks Critical Discourse Analysis". Kalau mau baca bisa klik link di bawah ini:
⭐⭐⭐⭐
Jadi kamu pro atau kontra tentang itu?
ReplyDeletejelas kontra Zah.. hehe
DeleteI mean the "feminism"?
DeleteAah.. i'm not sure. Aku masih perlu belajar banyak Zah, karena aku nggk bisa langsung pro atau kontra terhadap sesuatu tanpa alasan yg kuat. Konsep dasar feminisme yg mendukung perempuan u/ maju, aku sangat pro. But, ada beberapa hal dari yg kubaca itu tujuannya kek melenceng and it's confusing. Sorry nggak ngasih jawaban jelas.. wkwk
Delete