Hujan Bulan Juni
Buku kedua yang kubaca dari karya eyang Sapardi. Buku pertama yang kubaca dulu judulnya Trilogi Soekram.
Buku "Hujan Bulan Juni" ini istimewa banget siih, soalnya aku nggak beli sendiri. Buku ini kado ulang tahun dari my older sister yang tinggalnya jauh di pulau seberang, jadi bukunya dipesen online dan dipaketin. Seneng banget pas buku ini dateng. Tiga hari setelah aku ultah, ada beberapa paket beruntun dan salah satunya paket buku, padahal aku nggak pesen buku. Pas dibuka, waah.. ternyata novel ini. Emang siih, beberapa hari sebelum ultah aku bilang, kalau mau dikado, beliin buku aja.. wkwk. Trus aku kasih wishlist buku buanyaakk banget. Dan akhirnya aku dibeliin novel "Hujan Bulan Juni" ini.
Setelah baca buku eyang Sapardi pertama kali dulu, aku rasa gaya penulisan beliau sastra banget dan kayak nggak ada aturannya alias bebas. Sama juga buat di buku ini ternyata. Khas banget kalau ini tulisan beliau. Tapi yang aku rada kesel tuh, ada paragraf panjang tanpa titik koma, jadi pas baca sesak nafas... wkwk. Selesai baca istirahat sejenak. (meskipun aku baca dalam hati, tapi tetep pernafasannya kayak kalau baca buku biasa, sesuai titik koma, semoga kalian paham)
Coba deh kalian baca ini:
"Bukannya aku nggak suka tapi aku bingung kenapa aku seringkali tak paham apa maksud yang dituliskan eyang Sapardi Djoko Damono dalam novelnya yang sebenarnya bagus banget dan sangat sastra sekali jadi ya kerenn aja gitu harusnya kalau bisa paham tapi kenapa aku tetep lama banget ya pahamnya ntahlah bingung juga sama diri sendiri yang lama banget dalam memahami sastra dan tulisan karya eyang ini sampe aku sering bergumam sendiri dan membiarkan saja untuk tetap tak paham meski penasaran."
Wkwk.. kira-kira begitulah maksudku. Ada paragraf tanpa tanda baca titik koma yang bikin engap dan ngos-ngosan bacanya plus kadang nggak paham juga.
Novel "Hujan Bulan Juni" ini menurutku lebih mudah dipahami alur ceritanya daripada Trilogi Soekram (karena aku baru pernah baca dua buku tersebut, jadi perbandingannya ya dua buku itu yaa). Secara garis besar, novel ini bertema romansa yang ada unsur sara (suku, agama, ras). Meskipun membahas tentang sara, tapi bukan yang menyudutkan atau merendahkannya.
Tokoh utama yang ada di novel ini tentunya dua orang, laki-laki dan perempuan, yaitu Sarwono dan Pingkan. Keduanya sama-sama dosen muda yang cerdas, namun memiliki banyak perbedaan. Tentunya dari nama tokohnya udah bisa ditebak ya, kalau mereka beda suku bahkan agama. Tapi seringkali jika Pingkan ditanya asalnya mana, dia jawab, "Saya Indonesia". Karena Pingkan sendiri juga bingung, orangtuanya asal luar jawa, tapi ia lahir dan lama tinggal di Solo. Jadi, antara muka dan perangainya agak berbeda.
Cinta yang beda agama membuat Sarwono dan Pingkan sering memikirkan hal itu. Apakah cinta mereka dapat bersatu meski ada perbedaan yang cukup pelik itu. Namun, baik orangtua Pingkan maupun Sarwono tak pernah mempermasalahkannya, semua keputusan diberikan pada mereka berdua yang akan menjalani. Mereka masing-masing termasuk orang yang taat beragama, Pingkan bahkan sering mengingatkan Sarwono solat. Namun, mereka masing-masing juga tak dapat membohongi diri bahwa perasaan cinta itu ada dan semakin lama makin tumbuh.
Sejujurnya, aku pribadi nggak setuju yang namanya cinta beda agama. Karena bagaimanapun, agama sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk nanti pernikahan. Jika agamanya saja sudah berbeda, bagaimana dengan hal-hal lainnya? Bukan cuma itu. Tapi, apakah cintamu pada manusia lebih tinggi dari Penciptamu? Hal itu perlu dipertanyakan.
Nah, tapi kalau membaca kisah Sarwono dan Pingkan ini, aku tidak bisa langsung judge mereka salah atau apa. Karena memang, (katanya) cinta tak bisa dipaksakan. Lagipula, kisah mereka belum selesai. Masih bersambung di buku selanjutnya "Pingkan Melipat Jarak". So, semoga aku segera bisa baca buku lanjutannya.
Overall, buku ini bagus dan sangat khas tulisan eyang Sapardi (meskipun aku baru baca dua karya beliau).
⭐⭐⭐⭐
Comments
Post a Comment