Wejangan Mbah Minuk
Tahun 2023 jadi tahun terakhir Mbah Uti nanya "udah ada calon apa belum?" "jangan mikir sekolah terus, jodoh juga dipikirin" "kamu sama cucu-cucuku yang udah dewasa selalu tak doain semoga segera dapet jodoh yang bibit bebet bobotnya bagus..." dan lain-lainnya. Bukan karena aku udah punya calon atau udah nemu jodoh, tapi karena beliau udah kembali pada-Nya sebelum sempat melihat pernikahanku ðŸ˜.
Kalau pas ditanyain perkara jodoh (hampir tiap tahun bahkan tiap berkunjung ke rumah beliau), aku merasa kesel dan agak dongkol gitu di hati. Tapi, saat udah nggak ada lagi yang nanyain... rasanya jadi kek "nggak papa aku ditanyain kapan nikah, mana calonnya, dll.... yang penting nanti pas aku nikah ada Mbah Uti di sampingku..."
Yaah... tentunya semua udah terlambat. Dan baru kusadari bahwa apa yang Mbah Uti lakukan (mengingatkanku perkara cari jodoh) adalah sebuah wujud kasih sayang dan penguatan untukku. Dari beliau aku belajar bahwa menikah memang tak selalu berisi kebahagiaan, tapi dengan menikah, berbagai kebahagiaan yang tak terduga bisa datang. Hal itulah yang membuatku tidak terlalu takut akan sebuah pernikahan. Jujur, dulu aku pernah dalam fase yang takut banget sama pernikahan (ya karena banyak berita buruk soal itu) dan bahkan pernah punya bayangan untuk nggak menikah. But now, aku udah punya perspektif yang berbeda soal pernikahan.
Karena sering kali lah ditanyain soal menikah, jodoh, pernikahan. Aku jadi deeptalk sama beliau soal hal itu. Minta diceritain kisah awal pertemuan dulu sama Mbah Kakung, nanya apakah Mbah Uti bahagia dalam pernikahannya sama Mbah Kakung, sampe nanyain kriteria seperti apa yang Mbah Uti harapkan ada di sosok pasanganku kelak (gampangnya gimana kriteria cucu mantunya).
Dan ternyata aku menemukan sebuah Notes terkait itu... akhir 2019 (4 tahun lalu).
![]() |
notes in my smartphone (Mbah Minuk adalah panggilan sayang dari kami cucu-cucunya, nama asli beliau Mukminah) |
Isi notes lengkapnya:
Berbakti pada ortu
Agamanya baik (bisa jd imam keluarga)
Pendidikan tinggi
Berkharisma/ Wibawa
Keturunan dari orang yg berbobot
(Bobot Bibit Bebet )
Bobot: kekayaan
Bibit: keturunan
Bebet: kebagusan rupa, fisik
Dari 5 kriteria masuk 3/4 → its okay krn org gk ada yg sempurna
Kalau bisa jgn luar jawa
Sebagai seorang cucu, kurasa Mbah Uti udah ngasih standar minimal dari seorang calon cucu mantunya, dan nggak munafik juga... akupun setuju dengan beliau. Mungkin itulah yang membuatku nggak begitu sebel sama beliau. Karena bukan hanya nyuruh cepet-cepet nikah mengingat umurku kian bertambah, melainkan juga memberi standar yang bagus, nggak asal nikah aja.
Pernah terbersit di pikiranku, "harusnya dulu aku serius cari jodoh yaa... setidaknya Mbah Uti pernah ketemu calonku". Tapi setelah dipikir-pikir lagi, nggak sih. Aku nggak menyesal belum memperkenalkan calon pasanganku ke beliau (karena memang belum ada yaa... hehe). Aku rasa, beliau justru akan sedih saat aku memaksakan memperkenalkan seseorang yang ternyata under-standard(?). Jadi, keputusanku untuk memperbaiki diri dulu sebelum serius mencari adalah keputusan terbaik yang kubuat sejak 4 tahun lalu hingga kini.
Yaah... perbaiki diri mulu, kapan siapnya? Hmm I am okay... I am fine... Gwenchana... teng teng teng teng teng... Gwenchanayoo (*backsound viral). Hahaha... mungkin mulai tahun depan, aku akan lebih serius berikhtiar, mohon doanya yaa para pembaca blogku.
Kembali lagi ke wejangan tentang calon pasangan. Kali ini akan kukomentari satu per satu dari wejangan itu.
Pertama, berbakti pada orangtua.
Orangtua yang dimaksud adalah orangtuanya yaa. Seseorang yang bagus birrul walidain-nya, insyaAllah kehidupannya berkah dan sayang juga sama istri dan mertuanya. Terkait berbakti dengan orangtua ini, aku pernah denger ada pro/kontranya. Ada yang bilang, "jangan pilih suami yang terlalu berbakti sama ortunya, nanti kamu sebagai istri dinomor duakan, dia lebih milih ortunya daripada kamu, ortunya akan ikut campur di urusan rumah tangga kalian... blablablaa". Yaa mungkin itu yang dilakukan seseorang dengan pemahamannya terkait birrul walidain kurang tepat. Berbakti pada orangtua itu kewajiban seorang anak, tapi menuruti semua-mua-muanya keinginan orangtua itu keputusan anak. Orang yang bijak akan memutuskan dengan bijak. Jadi, bukan "berbakti pada orangtuanya" yang salah, tapi "keputusan yang dibuat sang anak" lah yang kurang tepat.
Kedua, agamanya baik dan bisa jadi imam keluarga.
Ini sih standar minimal atau kalau bahasa masa kininya "bare minimum" seorang calon pasangan. Imam di sini bukan hanya jadi imam salat yaah, tapi juga pemimpin keluarga. Fitrah laki-laki memang jadi pemimpin keluarganya, keputusan-keputusan besar bergantung pada kebijaksanaannya. Seseorang yang agamanya baik, insyaAllah dapat melaksanakan perannya dengan baik pula.
Ketiga, pendidikan tinggi.
Di sini emang Mbah Utiku pengen cucu mantunya juga setidaknya setara sama aku secara latar belakang pendidikan. Minimal lulus kuliah. Cuma di akhir beliau juga bilang bahwa memenuhi 3 atau 4 dari 5 kriteria ini juga nggak masalah, karena manusia nggak ada yang sempurna. Sudah kutuliskan juga di blog suami idaman bahwa aku nggak memaksakan suamiku juga sama-sama berpendidikan tinggi, yang penting dia bisa menggunakan akalnya dengan baik untuk berpikir.
Keempat, berkharisma/wibawa.
wi·ba·wa n 1 pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik: dengan penuh -- pemimpin itu berhasil menenangkan massa yang gelisah; 2 kekuasaan;
(Sumber: kbbi web)
Pembawaan seseorang yang punya kharisma/wibawa emang bikin tertarik orang lain. Poin ini sih lebih ke sikap dan tingkah laku yaa... mungkin bisa dibilang mirip dengan istilah good manner and attitude.
Kelima, keturunan dari orang yang berbobot.
Ini kayaknya memang jadi harapan banyak orangtua. Keluarga berpengaruh besar terhadap kehidupan seseorang yang berimplikasi pada karakter pribadinya. Baik-tidaknya seseorang tercermin dari bagaimana pola pengasuhan keluarganya. Aku juga setuju sih sama poin ini. Karena nantinya aku akan jadi bagian dari keluarganya juga, begitu pula sebaliknya. Pasti harapannya dapet keluarga yang baik-baik pula.
Di bagian terakhir, ada catatan "kalau bisa jangan luar jawa".
Mungkin ini bukan hanya harapan Mbah Uti, melainkan juga harapan Ibuk dan budhe-budheku. Bukan tanpa alasan sih, Mbakku menikah dengan orang yang tinggal di luar jawa, jadi nggak bisa mendadak pulang kalau kangen. Mungkin Mbah dan Ibuku pengennya bisa kapan aja ketemu tanpa harus perjalanan seharian (maksudnya perjalanan bisa ditempuh dengan waktu nggak sampe berhari-hari gitu lho). Yaah... ini mungkin akan kupertimbangkan juga, tapi... siapa yang tau jodoh asalnya dari mana? sekampung? se-kota? se-provinsi? se-pulau? se-negara? se-benua? nggak ada yang tau kan... wkwkwk.
Sebenernya ini tulisan sedih... tapi aku selingi candaan "wkwk" "hehe" dan "hahaha" biar aku tak berlarut-larut dalam kesedihan. Bahwa (kayak kata para komika), "menertawakan kesedihan bukan karena lucu tapi karena sudah menerimanya."
Comments
Post a Comment