Merelakan kehilangan
Sudah sejak lama pengen cerita tentang merelakan kehilangan. Awalnya, kurasa nanti saja ceritanya sekalian di refleksi akhir tahun, yang mana kurang beberapa hari lagi. Tapi, terlalu banyak kehilangan yang terjadi tahun ini. Sepertinya akan sangat panjang jika ditulis bersamaan dengan refleksi akhir tahun nanti. Dan tiba-tiba saja, hari ini sangat ingin menulis tentang merelakan kehilangan karena ada trigger yang membuatku langsung menangis.
Trigger-nya langsung dari dua hal.
Pertama, temen organisasi S2-ku yang sama-sama pengen ngejar wisuda Januari 2024 nge-chat kalau dia gabisa ngejar. Karena belum sidang dan ternyata dia perlu dioperasi pekan depan. Dia cerita kalau ada batu ginjal dan ada sesuatu yang dicurigai tumor.
Kedua, dapet kabar kalau Ibunya temen S1-ku yang rumahnya di DIY lagi opname di RS. Awalnya mau ngajak dia main di liburan Nataru ini, tapi agaknya nggak bisa karena dia harus jaga ibunya di RS.
Kenapa dua hal tadi yang kedengerannya biasa aja (which is... kabar orang sakit atau opname itu bukan hal yang jarang terjadi...), tapi malah jadi trigger sampe bikin aku nangis tiba-tiba. Padahal sebelumnya, mood-ku baik-baik saja. Kenapa? Karena sebelumnya... aku sering dapat kabar duka dari orang-orang dekat, yang mulanya dari rumah sakit. Setiap denger kata "rumah sakit" rasanya langsung keinget kejadian kemarin-kemarin dan mereka yang telah pergi berkelebatan di pikiranku. Seperti potongan film yang berjalan cepat. Aku dah nggak bisa lagi menahan rasa sakitnya kehilangan ini, jadinya mau menulis aja supaya lega.
History time kehilangan (2023)
- 23 Juni: wafat mbah S
- 5 Juli: wafat dek F
- 31 Juli: wafat mbak E
- 30 November: wafat mbah M
- 3 Desember: wafat budhe N
- 19 Desember: wafat mbah B
Ada 6 kehilangan dalam setengah tahun, bahkan ada yang rentang waktunya hanya beberapa hari (sebulan sampe dua orang). Belum sembuh ditinggal yang satu, udah sedih lagi ditinggal yang lain. Bener-bener, tahun ini aku belajar untuk meyakini makna Q.S. Al-Imran ayat 185. Sebenernya bukan hanya kehilangan orang-orang dekat yang masih ada garis keturunan. Tapi, tahun ini aku juga dapet kabar duka dari beberapa teman yang kehilangan orangtuanya: ayahnya atau ibunya. Selain itu... kabar saudara-saudara di Gaza yang ntah sudah merasakan berapa ratus atau ribuan bahkan jutaan kali kehilangan, makin memperparah sedihnya kehilangan tahun 2023 ini. I don't know what they feel, tapi rasa sesaknya sampe sini.
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati... (Q.S. Al-Imran ayat 185)
Wafat Mbah S
Aku memang sudah berencana pulang ke Semarang hari Sabtu, tapi Jumat-nya tiba-tiba Ibuk nelpon sekitar jam 11 untuk pulang hari itu juga. Beliau nelpon sambil nangis dan ngasih kabar kalau mbah S wafat. Langsung reschedule tiket travel dan berangkat siang itu juga. Aku ikut dalam prosesi pemakaman beliau sekitar habis Magrib dan nangis sesenggukan sepanjang jalan. Mbah S ini buliknya Ibuku, yang tinggal di Semarang dan punya kos-kosan pada masanya. Bapakku jadi salah satu anak kosnya dan bertemulah dengan Ibuku yang juga tinggal di sana (ikut buliknya), lalu jatuh cinta... hehe. Intinya, Mbah S yang jadi wakil orangtua Ibuku dan jadi saksi kisah cinta mereka selama di Semarang. Bahkan, beliau dan suaminya (mbahkung) juga bersikeras mengadakan acara resepsi di Semarang. So, Bapak Ibuku itu resepsi tiga kali, di rumah eyang dari Ibuk, di rumah eyang dari Bapak, dan di Semarang. Mbah S juga jadi satu-satunya orang yang ngasih aku batik tulis asli yang sampe sekarang mungkin udah berumur 40 tahunan (batik kuno). Hal itu yang bikin aku seneng banget, karena sebagai cucu pembatik (Mbah Utiku dari Ibuk adalah seorang pembatik tulis), aku nggak punya batik buatan Mbah Uti. Jadi, batik tulis asli pemberian Mbah S ini membuatku merasa ada kehadiran Mbah Uti, meski batik itu bukan buatannya.
Wafat dek F
Dek F ini adek sepupuku dari Bapak (anaknya Om). Aku jarang banget ketemu dia meskipun pas lagi liburan. Ntah dianya lagi pergi atau di kamar mulu... jadinya jarang ketemu meski di kota yang sama. It's such a heart breaking moment. Dia kecelakaan motor tanggal 4 Juli menjelang Magrib pas mau/udah beli mie ayam, posisi nggak pake helm. Malem itu langsung dibawa ke RS dan posisinya koma sampe besok paginya. Sekitar jam 9-an pas sepupuku yang lain lagi nengokin di RS, dia vidcall kami (aku dan adekku yang di Semarang). Tiba-tiba ada suara teriakan keras banget, teriakan kakaknya si F ini. Makdeg, aku langsung nanyain ke sepupuku yang lagi vidcall ini, "itu mbaknya F kenapa teriak?"... Dan kisah selanjutnya aku yakin para pembaca sudah paham 😭. Hari itu juga, aku dan perwakilan keluarga langsung otw takziah ke sana. Tentu, aku nggak sempat ikut prosesi pemakamannya karena perjalanan yang cukup jauh. Sejak saat itu, Mbah Utiku (Mbah M) selalu bilang nggak boleh perjalanan pas Magrib. Kalau mau perjalanan dan mendekati Magrib, lebih baik salat Magrib dulu baru pergi, atau sebelum Magrib udah otw. Pokoknya jangan sampe waktu surup masih di perjalanan. Safety juga makin-makin kuperhatikan. Meski sebelumnya aku udah tertib pake helm kemanapun, bahkan aku kesel sama orang yang nggak pake helm (pernah kutulis di blog ini), aku jadi makin concern kalau ada yang mau boncengan motor sama aku. Mereka harus pake helm juga. Nggak boleh nggak, meski cuma keluar deket dari rumah.
Wafat Mbak E
Mbak E ini mbak iparnya sepupuku. Tapi karena dulu pernah tetanggaan dan beliau juga tinggalnya di Semarang, jadi cukup dekat sama keluargaku juga. Bener-bener nggak nyangka beliau pergi secepat ini di usia yang masih muda (di bawah 50 th) dan ninggalin anak-anak yang masih kecil. Makin sedihnya lagi, aku belum bisa mewujudkan keinginannya buat bikin Album Keluarga-nya. Jadi, mbak sepupuku pesen dibuatin Album Keluarga dari keluarga besar suaminya (tentunya termasuk mbak E ini). Dan mbak E adalah sosok yang paling antusias nunggu Album Keluarga itu jadi. Tapi, sampe saat terakhirnya belum liat album itu karena aku belum kelar bikinnya 😭. Ya Allah... in that time, aku nyalahin diri sendiri karena nggak bener ngatur waktunya.
*sekarang albumnya udah jadi dan respon keluarga besar dari suaminya mbak sepupuku ini seneng banget, karena ada kenangan dan foto-foto dari orang-orang tersayang mereka...
Wafat Mbah M
Mbah M adalah Mbah Utiku, ibu dari Bapakku. Satu-satunya mbah yang masih hidup tahun ini (karena ortunya Ibuku dan ayahnya Bapakku udah seda semua). Berita perginya beliau nggak terlalu membuatku kaget, karena sebelumnya aku sempat nemenin di RS dan juga ikut ambulan saat mengantar beliau pulang dari RS ke rumah (rumah mbahku yaa). Sempat kukatakan padanya, "Mbah cepet sembuh yaa... nanti lihat aku wisuda, bentar lagi...". Namun beliau udah nggak begitu merespon dan batinku mengatakan bahwa waktu beliau nggak lama lagi (itu posisi H-3 beliau wafat). Terlalu banyak yang ingin kuceritakan tentang beliau, tapi mungkin nanti saja di tulisan lainnya. Intinya, ntah karena terlalu stress berbagai macam hal (tesis, masa depan, jodoh, karier, kehidupan lainnya), sampai-sampai aku nggak nangis sesenggukan kayak cucu-cucu lainnya. Aku cuma berkaca-kaca aja.... Ntahlah... apa mungkin kesedihanku sudah melewati masa puncaknya, jadi saat beliau pergi dan aku kehilangan... rasanya sedih itu sudah mereda. Atau jangan-jangan... saat itu hatiku mati rasa...
Yang paling sedih di antara seluruh keluarga tentunya Omku... pada tahun yang sama, kehilangan putranya (dek F) dan ibunya (mbah M). Sungguh aku nggak bisa bayangin gimana beliau menahan kesedihan itu dan berusaha kuat sampe prosesi pemakaman selesai (beliau ikut mengangkat keranda dan menguburkan ibunya alias mbah utiku, mbah M).
Wafat budhe N
Budhe N sebenernya bukan keluarga yang deket banget. Beliau ini sepupunya Bapakku, keponakannya Mbah M. Saat mbah utiku (Mbah M) dirawat di RS, budhe N sebenarnya juga dirawat di RS yang sama... cuma aku belum sempat menjenguknya karena udah riweuh ngurusin keperluan Mbah. Ya Allah... ini bener-bener keluarga besar dari Bapakku lagi dapet banyak ujian kehilangan.
Wafat Mbah B
Mbah B ini adik kandungnya Mbah M. Saat Mbah M wafat, sekeluarga besar sepakat untuk tidak memberitahu beliau karena pada saat itu masih dirawat di RS juga. Saat beliau bertanya, "Mbah M gimana keadaannya?" (note: beliau tahu kalau kakaknya, Mbah M, juga lagi sakit dan dirawat di RS) Keluarga menjawab, "Nggih sampun kepenak..." (padahal maksudnya bukan sudah kembali sembuh tapi sembuh karena sudah wafat). Dan sampe beliau wafat-pun, beliau nggak tahu kalau sebelumnya kakaknya ini juga sudah wafat.
Merelakan kehilangan ternyata tak semudah itu yaa... Tahun ini benar-benar mengajarkanku tentang pentingnya kehadiran orang-orang dekat kita. Saat mereka pergi, meski masih bisa menjalani hidup seperti biasa... rasa sakitnya kehilangan tetap terasa. Bener juga nasihat Bapakku,
Perpisahan itu pasti, tapi pertemuan belum tentu...
Menghargai kehadiran orang-orang yang kita temui di hidup kita, rasa-rasanya jadi hikmah dari keseluruhan tulisan ini.
Comments
Post a Comment