Refleksi 2023
Jujur, tahun 2023 aku nggak punya goals yang muluk-muluk. Keinginanku untuk berani naik motor udah tercapai di 2022 (yang mana udah jadi goals dari tahun ke tahun sejak SMA), alhamdulillah. Tahun 2023, meskipun masih banyak overthinking-nya, aku cuma berdoa supaya bisa lulus magister. Alhamdulillah, aku sudah sidang tesis pada Desember 2023 lalu. Itu mepet banget sama pergantian tahun (2023 udah mau habis), jadi aku nggak bisa ikut wisuda tahun 2023. It's okay, nggak papa... yang penting aku nggak perlu bayar UKT lagi... wkwkwk.
Tahun 2023, lagi-lagi aku harus belajar "menerima". Menerima ketidaksempurnaanku dalam berbagai hal, menerima takdir Allah untuk hidupku. Tahun itu, beberapa keluarga dekatku meninggal dunia yang bikin aku merasa kehilangan yang begitu dalam (baca blog-ku tentang "Merelakan Kehilangan" di sini). Saat kebanyakan orang menganggap tahun 2019-2021 (pandemi corona) jadi tahun terburuknya karena begitu banyak kehilangan keluarga mereka, aku justru baru merasakannya tahun 2023. Sedih banget rasanya... ya Allah.
Momen tersedih yang kurasakan di 2023 yaitu pas eyang utiku meninggal dunia. Saking sedihnya, sampai-sampai aku nggak mengeluarkan air mata, sementara sebagian besar keluarga pada nangis sesenggukan. Pekan itu, seharusnya targetku untuk menyerahkan hasil revisi draft tesis ke dosen pembimbing (beliau pun sudah kontak aku akhir pekan sebelumnya, dan ya aku masih beralasan "sedang dalam proses pengerjaan, Pak"). Tapi malah aku demam dua hari, lalu dapat kabar eyang uti meninggal. Bersyukurnya, dosbing-ku termasuk dosen yang fleksibel dan pengertian, jadi targetku yang melebihi deadline masih ditoleransi olehnya.
![]() |
| screenshot chat izin mengulur deadline :( |
| halaman persembahan tesisku |
Tahun 2023 jadi tahun struggle-ku dalam mengerjakan tesis. Sambat... sering. Nangis? ya iyalah... lebih dari sekali. Merasa diri sangat tertinggal juga karena nggak sesuai target (lulus 4 semester). Tapi tetep berusaha menenangkan diri dan menerima ketidaksempurnaanku. Sempat menyesali juga kenapa aku ambil topik tesis yang cukup sulit, dosen pembimbingku pun juga mengatakan demikian, sampai-sampai beliau berniat mengganti topik tesisku (yang artinya harus dimulai dari awal pembuatan proposal padahal riset udah setengah jalan). Sebagai orang yang cukup "ngeyel dan keras kepala", aku nggak mau menyerah begitu saja, karena aku udah baca puluhan jurnal, paper, buku, nonton YouTube, diskusi sana-sini (dengan researcher sebelumnya, teman jurusan, kakak tingkat), dll untuk riset terkait topik ini. Udah trial & error di pengolahan datanya juga, masa sih mau nyerah (?).
Pada akhirnya dosen pembimbing membebaskanku untuk memilih topikku sendiri dengan arahan dan saran-saran dari beliau tentunya, meskipun memang aku butuh waktu lebih lama. Btw aku selesaiin tesis selama 3 semester (dari semester 3-5). Dan pada akhirnya pula, setelah diskusi panjang dan perenungan yang sangat lama, aku memutuskan untuk menulis tesis apa adanya. Menurunkan ekspektasi dan berdamai dengan perfeksionis dalam diri. Yups, hasil risetku dapat dibilang kurang sempurna. Tapi tetap kutulis hasilnya beserta faktor-faktor kegagalannya.
| di akhir presentasi sidang sampai kutulis begini, saking "sulitnya" mengukur kedalaman laut |
Tahun ini, akhirnya hikmah yang kucari sedikit demi sedikit ditunjukkan oleh-Nya. Awal tahun aku merasa jadi pribadi yang merugi, yang lebih buruk dari diriku sendiri sebelumnya, terutama dalam hal produktivitas. Jika saat S1 dulu aku jadi pribadi yang sangat sungguh ambizz sekali, saat S2 aku berpatokan dengan prinsip "tidak apa-apa tidak sempurna". Yaa, memang sebagai manusia kita punya banyak kekurangan, tak sempurna. Tapi, prinsip "tidak apa-apa tidak sempurna" ini justru membuatku malas, kurang produktif, dan under-estimate diri sendiri. Yang seharusnya aku bisa mencapai A, B, C, D, E, aku sudah bisa menerima diri dengan hanya mencapai sampai C saja misalnya. Padahal sebenarnya kemampuanku lebih dari itu. Mengizinkan diri dan menerima diri untuk menjadi tidak sempurna memang bagus, namun di sisi lain juga tak baik jika kita sendiri tidak mem-push untuk menjadi lebih baik. Setelah menyadari itu, aku bertekad untuk kembali menjadi diriku yang dulu, yang ambisius, yang tak melewatkan kesempatan bagus, yang perfeksionis dalam banyak hal, yang tidak cepat puas, namun tetap memiliki kendali diri untuk menerima kegagalan.
Hikmah yang sangat terasa yaitu saat timku berhasil memperoleh Juara I dalam perlombaan yang cukup prestisius di jurusan kami. Aku, yang awalnya selalu menyalahkan diri karena tidak lulus tepat waktu (dalam hal ini aku molor 1 semester sampai semester 5), kini bersyukur ada hikmah di baliknya. Mungkin jika aku tidak molor, aku tidak berkesempatan ikut berbagai lomba lagi, sehingga tentu tak ada kesempatan menang lombanya. Alhamdulillah, stress dan tekanan saat mengerjakan tesis dapat kualihkan dengan mengikuti perlombaan (hal yang positif untuk suatu "pelarian" sejenak dari tesis... wkwkwk). Selain itu, aku juga berkesempatan untuk bergabung di tim riset dari lembaga riset ternama Indonesia. Jika bukan karena topikku tentang topik riset tersebut, mungkin aku nggak berkesempatan untuk masuk ke tim riset yang bersangkutan.
Menjelang pergantian tahun, sepertinya aku mulai merasakan yang namanya "Quarter Life Crisis". Kebingungan dengan masa depan. Setiap ditanya oleh orang, "what's next?", "setelah lulus S2 mau ngapain?", dan pertanyaan sejenis lain, aku kebingungan menjawab apa. Sejujurnya aku ingin segera lanjut studi S3, namun keputusan S3 perlu pertimbangan banyak hal sehingga aku merasa butuh waktu untuk belajar, persiapan dan merenung sebelum mendaftar dan tentunya mencari peluang beasiswa. Ibuk juga pernah bilang kalau beliau berharap aku menikah dulu sebelum lanjut studi S3, kalau Bapak memang membebaskan atas segala pilihanku selama tidak melanggar syariat.
Ngomong-ngomong tentang harapan Ibuk, jujur aku bingung juga. Aku nggak pernah deket sama lawan jenis, nggak pernah pacaran atau punya relationship sama lawan jenis, belum pernah ada yang menyatakan perasaan ke aku maupun melalui perantara orangtua. Jadi bener-bener bingung gimana caranya cari jodoh. Hmmm... Jadi mungkin resolusiku tahun 2024 adalah mengikuti kelas dan layanan taaruf deh... yaah daripada bingung kan. Sebenernya aku udah bilang ke Ibuk dan Bapak kalau misal beliau ada calon, aku terbuka untuk perkenalan, dengan beberapa kriteria yang sudah aku tentukan juga. Tapi sepertinya beliau belum menemukan sosok yang cocok.
Ternyata Quarter Life Crisis itu nyataaaa... huaa pengen nangis ðŸ˜
Jujur aku bener-bener bingung, setelah lulus mau ngapain dulu. Mungkin memang yang paling bisa dilakukan adalah persiapan riset S3 dan beasiswa, tapi juga butuh cari pengalaman kerja. Sedangkan cari kerja itu ternyata tidak semudah itu. Yaa Allah... aku mohon pertolongan-Mu. Aku nggak bisa apa-apa tanpa-Mu yaa Allah. Tolong tenangkan hatiku.
Mungkin segini dulu refleksi tahun 2023 ini. Wening, semoga tahun depan kamu bisa menemukan hikmah yang lebih nyata, bisa menemukan pasangan yang sholeh (atau setidaknya sudah ada hilal jodoh... wkwkwk), diberikan kejutan sama Allah yang tidak disangka-sangka.
Selalu bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang yaa.
Semangat menempuh perjalanan menuju dunia dewasa yang penuh rasa.

Comments
Post a Comment