Posts

Showing posts from 2025

Obrolan Menjelang Pulang

Image
Ternyata benar, perempuan punya energi begitu besar untuk berkata-kata, berbicara. Berdasarkan hasil riset dan terutama yang sering disampaikan dr. Aisah Dahlan ( one of my online mentor ), perempuan rata-rata bisa mengeluarkan 16.000 kata per hari... dan belum bisa tidur nyenyak kalau nggak mencapai target. Pantesan, kadang aku suka ngomong sendiri di samping adekku padahal dia udah beranjak tidur, hahahaaa. Trus waktu ngekos sendiri, sering banget video call sama keluarga sampe berjam-jam, ternyata aku butuh mencapai target kata-kata, wkwkwk.  Dulu aku nggak sadar kalau aku banyak bicara. Karena merasa introvert dan memang sering kehabisan energi kalau kelamaan di keramaian. Tapi ternyata, meski introvert, kebutuhan buat bicara itu tetep ada. Jadilah sering ngobrol sama keluarga dan sahabat dekat. Sekarang aku sadar, sesadar-sadarnya, ternyata perempuan sebetah itu buat ngobrol. Setelah mengalaminya sendiri jadi tempat cerita rekan kerja menjelang pulang kantor. Mulanya aku mena...

Jeda dan Spasi

Pagi ini aku terkejut sekali, melihat sosok yang dulunya jadi idolaku (tapi kini tidak, bahkan sudah ku-unfollow instagramnya sejak dua tahun lalu) membuat postingan tentang perceraiannya (muncul di suggestion berandaku). Dulu aku mengaguminya karena sama-sama hobi baca buku. Kulihat review bukunya di YouTube hampir tiap hari (sekitar tahun 2017-tujuh tahun lalu), kemudian beralih ke instagram untuk melihat postingannya (yang juga tentang buku). Sejak follow sosial medianya, aku mengikuti perjalanan hidupnya sejak masih gadis, menikah muda, punya anak, dan hidup berkeluarga. Mbak ini memang bukan orang yang kukenal secara personal, tapi aku suka caranya bercerita dan menulis di media. Meski seringnya terlalu vulgar dan blak-blakan. Itu jugalah yang akhirnya membuatku unfollow. Sebenarnya sih okay saja dan aku merasa dirinya keren karena berani menyuarakan apa pun dengan jujur dan apa adanya. Tapi lama kelamaan, sepertinya dia tidak punya filter (setidaknya menurutku), maka kuputuskan u...

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

Image
Suatu hari aku pernah berpikiran seperti ini... "Apakah menikah harus punya alasan? Apakah harus melibatkan perasaan cinta romantis kepada calon pasangan kita sebagai alasan untuk menentukan keputusan menikah?" Pikiran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada seorang sahabat yang beberapa waktu lalu bertanya padaku mengenai hal itu, dan ada buku yang kubaca menuliskan hal selaras. Jadi aku berpikir sejenak, apakah harus melibatkan cinta sebelum memutuskan menikah? Padahal sejak dulu, prinsipku adalah mencintai suamiku, siapa pun itu, kalau belum sah sebagai suamiku, takkan kuberikan cinta tulus ini. "Sekadar suka" mungkin bisa, tapi hingga level "cinta" memang kusimpan dan akan kupersembahkan untuk suamiku kelak. kaget nggak tuh, sore-sore dapet pertanyaan filosofis :) Jadi saat ditanya oleh sahabatku perihal itu, jawabanku adalah "mungkin 50% (?)". Ya karena nggak pernah ada risetnya juga ya, tapi menurutku tidak semua orang menikah atas dasar ci...

Morning Talk with Bapak

Beberapa hari ini, karena habis flu (jadinya kurang enak badan) dan cuaca yang sering hujan, aku dianter-jemput Bapak. Takutnya kalau motoran sendiri oleng karena masih kurang fit. Jadinya, tiap pagi aku harus mandi lebih awal, siap-siap lebih awal biar bisa berangkat bareng Bapak-Ibu. Dan setiap perjalanan berdua bareng Bapak (karena Ibu turun duluan, kantornya deket) selalu ada obrolan yang random alias macam-macam, berbagai topik. Para pembaca blog-ku mungkin udah tau ya, kalau aku sama Bapak itu bisa ngobrolin apa pun. Mulai dari pendidikan, agama, sosial, ekonomi, politik, sampai filsafat. Pagi ini, obrolannya ringan tapi serius. Jadi, aku pengen mencatatnya sebagai pengingat juga.  Berawal dari obrolan tentang Ibu yang mau pensiun. Bapak bilang kalau, "Bapak nggak akan pensiun. Pensiun pun Bapak tetep kerja. Cuma kerjanya sudah nggak di kantor." Intinya, beliau bilang bahwa seumur hidupnya akan terus bekerja, berkarya, dan melakukan berbagai hal produktif, apapun itu. B...

Ambisius

Dapat dibilang, sejak sekolah aku punya rasa ambisius yang cukup (menurutku). Intinya bukan tipe anak yang pasif. Mungkin ke-ambis-an ini dimulai sejak aku diperkenalkan dengan kompetisi dan perlombaan. Bahwa orang yang terbaik adalah mereka yang menang kompetisi, yang rangking 1, urutan pertama, yang nilainya 100, dll. Hal itu selaras dengan pujian yang kudapatkan dari orang-orang sekitar saat juara lomba, rangking 10 besar, dan berhasil meraih pencapaian-pencapaian lainnya. Kupikir-pikir, jiwa ambisius ini lahir karena Ibu selalu mendorongku untuk berani ikut lomba (tiap ada kesempatan). Misalnya, lomba mewarnai, menggambar, baca puisi, tartil, dll. Bahkan saat aku si introvert ini malu untuk tampil, Ibu selalu bilang "masak kalah sebelum coba?". Ya, Ibu memang mendorongku untuk ikut berbagai kompetisi, tapi beliau tidak menuntutku untuk menang. "Pengalaman itu mahal harganya mbak, nggak papa... kalah di perlombaan juga pengalaman." Orang-orang yang memujiku biasa...