Pengalaman Pertama Naik BRT

-
Enam tahun lalu. Lagi sibuk-sibuknya teman-teman seangkatanku buat mendaftar sekolah ke SMA yang mereka inginkan. Aku pun juga begitu. Setelah melewati masa pendaftaran, tiba saatnya melihat pengumuman. Aku janjian dengan Dewi, teman SD sekaligus tetangga yang juga masih ada hubungan kekerabatan denganku, untuk pergi ke SMA yang kami daftar. Kebetulan juga SMA tersebut berdekatan, hanya selang satu atau dua bangunan di antaranya. Kalian yang orang Semarang pasti tau deh, itu tuh dua SMA favorit sebelahan yang ada di depan Balaikota.

Ibuku menyuruhku untuk belajar naik BRT sama Dewi, karena pas SMP Dewi udah sering naik BRT. Dulu waktu SD pun, waktu aku mau latihan naik angkot sendiri, juga diajarin sama Dewi ini. Jadi kita sering naik angkot bareng. Sejak SMP kita mulai jarang main karena sekolahnya beda, arah lokasinya juga beda, jadi jarang bareng. Oh iya, bagi kalian yang belum tau, BRT itu singkatan dari Bus Rapid Trans. Semacam Trans Jakarta yang ada di Semarang. Orang-orang juga sering menyebutnya Trans Semarang, tapi aku sendiri lebih enak nyebutnya BRT. 

Buat naik BRT kita nggak bisa sembarangan tempat, karena BRT hanya menaik-turunkan penumpang di halte BRT yang udah tersebar di Semarang ini sesuai dengan rutenya. Kalau mau naik BRT, dari rumahku harus naik angkot dulu sampe halte, baru bisa naik BRT-nya. Di perjalanan aku nanya terus sama Dewi, bayarnya gimana, turunnya gimana, busnya warna apa, dll. Pengalaman pertamaku naik BRT, tiketnya tuh masih manual pakai kertas. Bayarnya cuma Rp1.000,00 buat anak sekolah, kalau umum Rp3.500,00. Murah kan? Itu tuh udah bisa naik kemanapun, maksudnya sampe mentok busnya berhenti tetep sama bayarnya. Nanti tiap melewati halte, petugas ticketing BRT bakal teriak nyebut nama haltenya, nah kalau kita mau turun tinggal bilang, "Turun" sambil persiapan di dekat pintu. Ada dua warna bus BRT, yaitu merah dan biru. Itu tergantung rutenya mana (biasanya disebut koridor), misal Koridor II itu rute Ungaran-Terboyo, dll. Kadang ada beberapa koridor yang warnanya sama, jadi sebenernya warna bus bukan patokan utama buat membedakan rute, tapi koridor dan tulisan arahnya ke mana. Jangan sampe koridornya bener tapi arahnya beda, eh malah balik lagi dong wkwk. 

Cukup seneng pas naik BRT pertama kali, yaah walaupun agak jinjit-jinjit pas pegangan ring di atasnya. Dewi malah ngasih tips aku yang notabene pendek (wkwk) biar nggak gampang jatuh pas naik BRT, yaitu pegangan tiang. Karena kalau pegangan tiang nggak usah pake jinjit segala dan tangan juga nggak gampang pegel. BRT ini seringnya rame banget, jadi buat anak sekolah siap-siap aja berdiri terus, karena tempat duduk digunakan buat orang-orang prioritas seperti ibu hamil, ibu membawa anak kecil, disabilitas dan orang tua yang udah renta. 

Hmm, ternyata naik BRT nggak seburuk yang aku bayangin. Thank you Dewi :)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Apakah menikah harus berdasarkan cinta?

-
Image
Suatu hari aku pernah berpikiran seperti ini... "Apakah menikah harus punya alasan? Apakah harus melibatkan perasaan cinta romantis kepada calon pasangan kita sebagai alasan untuk menentukan keputusan menikah?" Pikiran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada seorang sahabat yang beberapa waktu lalu bertanya padaku mengenai hal itu, dan ada buku yang kubaca menuliskan hal selaras. Jadi aku berpikir sejenak, apakah harus melibatkan cinta sebelum memutuskan menikah? Padahal sejak dulu, prinsipku adalah mencintai suamiku, siapa pun itu, kalau belum sah sebagai suamiku, takkan kuberikan cinta tulus ini. "Sekadar suka" mungkin bisa, tapi hingga level "cinta" memang kusimpan dan akan kupersembahkan untuk suamiku kelak. kaget nggak tuh, sore-sore dapet pertanyaan filosofis :) Jadi saat ditanya oleh sahabatku perihal itu, jawabanku adalah "mungkin 50% (?)". Ya karena nggak pernah ada risetnya juga ya, tapi menurutku tidak semua orang menikah atas dasar ci...
Read more

Suami idaman

-
Kancaku nikah, bulikku (sing seumuran) nikah, katingku nikah, tanggaku nikah. Aku kapan?  Wkwk  Sambatan kocak yang mungkin akhir-akhir ini sering singgah di pikiran.  Memang nikah kuwi syarate namung kalih. Kalih sinten? wkwkwk Nggak berasa umurku udah semakin tua yaa... meskipun sebenernya aku ngrasa masih muda banget, tapi di usia-usia awal dua puluhan, perempuan di Indonesia itu udah banyak yang nikah. Pengen sih punya partner kehidupan yang bisa saling bertumbuh bersama (a.k.a suami), tapi jujur sampe sekarang masih ada sedikit ketakutan buat nikah. Mungkin itu pulalah yang membuat Allah belum menunjukkan tanda-tanda jodoh. Woyy jodoh... kamu di mana woyy? wkwk. Iyaa kamuuu...  Aku percaya, Allah akan memberi rezeki yang cukup bagi setiap hamba-Nya. Tapi, bukankah jika hanya modal cinta tanpa harta, itu tanda belum siap nikah? Memang, menikah tak harus mewah. Hidup sederhana bersama pasangan dan keluarga kecil kita juga tak apa. Tapi, pikiranku macam-macam. Ka...
Read more

Bapak

-
Image
Terinspirasi menulis blog ini setelah membaca bukunya Kang Ulum A. Saif yang berjudul "Bapak". Di halaman terakhirnya ada sub-bab "Wahai Anak" dan beliau mengajak para anak untuk berkarya (baik itu berupa tulisan, film, dkk) menyuarakan betapa mereka bangga dengan bapaknya. Sebagai seorang anak yang suka menulis dan bangga sama Bapakku tentunya, jadilah kepikiran untuk menulis pelajaran hidup yang kudapatkan dari Bapak.  Kata orang-orang, Bapak adalah laki-laki cinta pertama anak perempuannya, dan itu benar. Laki-laki cinta pertamaku ya bapakku. Alhamdulillah sampai sekarang dan kapanpun itu, cinta beliau nggak akan pernah tergantikan. "Lhah kalo lu punya suami gimana?" Ya tetep, cinta pertamaku Bapak, yang kedua baru suami. Semoga suamiku kelak bisa mencintaiku dengan tulus seperti cinta bapak padaku... aamiin yaa Allah. 😊 Peran Bapak dalam pengasuhan Di keluarga kami, Bapak dan Ibu punya tiga anak yang kesemuanya perempuan. Jadi mungkin anak-anaknya cen...
Read more